Kamis, 20 Mei 2010

IMUNISASI

Adalah suatu upaya untuk menimbulkan/meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu
penyakit, sehingga bila kelak ia terpapar dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau sakit ringan.
Baca selengkapnya klik :
www.pppl.depkes.go.id/images_data/IMUNISASI.pdf

SEKALI MENDAYUNG, DUA TIGA PULAU TERLAMPAUI


Motto ini sudah tak asing lagi bagi kita...
So... ini yang terjadi dan saya alami sendiri saat ini....
Dengan penuh semangat datang di Kampus Unhas untuk mempermantap Ilmu-ilmu Keperawatan yang saya miliki, ternyata saya mendapatkan juga ilmu yang tidak kalah berharga.
Mata Kuliah IT yang diberikan sangat membantu saya untuk mengikuti perkembangan zaman saat ini... dimana dalam dunia keperawatan saat inipun dituntut untuk selalu berhubungan dengan tekhnologi terbaru khususnya di bidang IT.
Jujur aja.... pertama kali menginjakkan kaki di Kampus Merah, saya hanya punya modal IT seperti menggunakan Jejaring Sosial Face Book, kemudian hanya mampu mengoperasikan office word dan excell yang sangat minim....
\Dan sekarang... saya merasa lebih banyak perkembangan dari semula semenjak menerima mata Kuliah IT ini.... thanks for all dosen IT...... \sukses selalu Ners Unhas...
Voice of Hearth by. Asriel Talaran

Sejarah Tanah Luwu


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Sejarah Tanah Luwu sudah berawal jauh sebelum masa pemerintahan Hindia Belanda bermula. Sebelumnya Luwu telah menjadi sebuah kerajaan yang mewilayahi Tana Toraja (Makale, Rantepao) Sulawesi Selatan, Kolaka (Sulawesi Tenggara) dan Poso (Sulawesi Tengah). Hal sejarah Luwu ini dikenal pula dengan nama Tanah Luwu yang dihubungkan dengan nama La Galigo dan Sawerigading.

Setelah Belanda menundukkan Luwu, mematahkan perlawanan Luwu pada pendaratan tentara Belanda yang ditantang oleh hulubalang Kerajaan Luwu Andi Tadda bersama dengan laskarnya di Ponjalae pantai Palopo pada tahun 1905. Belanda selanjutnya mebangun sarana dan prasarana untuk memenuhi keperluan pemerintah penjajah diseluruh wilayah kerajaan Luwu mulai dari Selatan, Pitumpanua ke utara Poso, dan dari Tenggara Kolaka (Mengkongga) ke Barat Tana Toraja. Pada Pemerintahan Hindia Belanda, sistem pemerintahan di Luwu dibagi atas dua tingkatan pemerintahan, yaitu:

  • Pemerintahan tingkat tinggi dipegang langsung oleh Pihak Belanda.
  • Pemerintahan tingkat rendah dipegang oleh Pihak Swapraja.

Dengan terjadinya sistem pemerintahan dualisme dalam tata pemerintahan di Luwu pada masa itu, pemerintahan tingkat tinggi dipegang oleh Hindia Belanda, dan yang tingkat rendah dipegang oleh Swapraja tetapi tetap masih diatur oleh Belanda, namun secara de jure Pemerintahan Swapraja tetap ada. Menyusul setelah Belanda berkuasa penuh di Luwu, maka wilayah Kerajaan Luwu mulai diperkecil, dan dipecah sesuai dengan kehendak dan kepentingan Belanda, yaitu:

  • Poso (yang masuk Sulawesi Tengah sekarang) yang semula termasuk daerah Kerajaan Luwu dipisahkan, dan dibentuk satu Afdeling.
  • Distrik Pitumpanua (sekarang Kecamatan Pitumpanua dan Keera) dipisah dan dimasukkan kedalam wilayah kekuasaan Wajo.
  • Kemudian dibentuk satu afdeling di Luwu yang dikepalai oleh seorang Asisten Residen yang berkedudukan di Palopo.

Selanjutnya Afdeling Luwu dibagi menjadi 5 (lima) Onder Afdeling, yaitu:

  • Onder Afdeling Palopo, dengan ibukotanya Palopo.
  • Onder Afdeling Makale, dengan ibukotanya Makale.
  • Onder Afdeling Masamba, dengan ibukotanya Masamba.
  • Onder Afdeling Malili, dengan ibukotanya Malili.
  • Onder Afdeling Mekongga, dengan ibukotanya Kolaka.

Selanjutnya pada masa pendudukan tentara Dai Nippon, Pemerintah Jepang tidak merubah sistem pemerintahan, yang diterapkan tentara Dai Noppon pada masa berkuasa di Luwu (Tahun 1942), pada prinsipnya hanya meneruskan sistem pemerintahan yang telah diterapkan oleh Belanda, hanya digantikan oleh pembesar-pembesar Jepang. Kedudukan Datu Luwu dalam sistem pemerintahan Sipil, sedangkan pemerintahan Militer dipegang oleh Pihak Jepang. Dalam menjalankan Pemerintahan Sipil, Datu Luwu diberi kebebasan, namun tetap diawasi secara ketat oleh pemerintahan Militer Jepang yang sewaktu-waktu siap menghukum pejabat sipil yang tidak menjalankan kehendak Jepang, dan yang menjadi pemerintahan sipil atau Datu Luwu pada masa itu ialah " Andi Kambo Opu Tenrisompa" kemudian diganti oleh putranya "Andi Patiware" yang kemuadian bergelar "Andi Jemma".

Pada bulan April 1950 Andi Jemma dikukuhkan kembali kedudukannya sebagai Datu/Pajung Luwu dengan wilayah seperti sediakala. Afdeling Luwu meliputi lima onder Afdeling Palopo, Masamba, Malili, Tana Toraja atau Makale, Rantepao dan Kolaka. Tahun 1953 Andi Jemma Datu Luwu diangkat menjadi Penasehat Gubernur Sulawesi, waktu itu Sudiro. Ketika Luwu dijadikan Pemerintahan Swapraja, Andi Jemma diangkat sebagai Kepala Swapraja Luwu, pada tahun 1957 hingga 1960.

Atas jasa-jasa beliau terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia, Andi Jemma telah dianugerahi Bintang Gerilya tertanggal 10 November 1958, Nomor 36.822 yang ditandatangani Presiden Soekarno. Pada masa periode kepemimpinan Andi Jemma sebagai Raja atau Datu Luwu terakhir, sekaligus menandai berakhirnya sistem pemerintahan Swatantra (Desentralisasi). Belasan tanda jasa kenegaraan Tingkat Nasional telah diberikan kepada Andi Jemma sebelum beliau wafat tanggal 23 Februari 1965 di Kota Makassar. Presiden Soekarno memerintahkan agar Datu Luwu dimakamkan secara kenegaraan di ‘Taman Makam Pahlawan’ Panaikang Makassar, yang dipimpin langsung oleh Panglima Kodam Hasanuddin.

Selanjutnya pada masa setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, secara otomatis Kerajaan Luwu berintegrasi masuk kedalam Negara Republik Indonesia. Hal itu ditandai dengan adanya pernyataan Raja Luwu pada masa itu Andi Jemma yang antara lain menyatakan "Kerajaan Luwu adalah bagian dari Wilayah Kesatuan Republik Indonesia".

Pemerintah Pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.34/1952 tentang Pembubaran Daerah Sulawesi Selatan bentukan Belanda/Jepang termasuk Daerah yang berstatus Kerajaan. Peraturan Pemerintah No.56/1951 tentang Pembentukan Gabungan Sulawesi Selatan. Dengan demikian daerah gabungan tersebut dibubarkan dan wilayahnya dibagi menjadi 7 tujuh daerah swatantra. Satu di antaranya adalah daerah Swatantra Luwu yang mewilayahi seluruh daerah Luwu dan Tana Toraja dengan pusat Pemerintahan berada di Kota Palopo.

Berselang beberapa tahun kemudian, Pemerintah Pusat menetapkan beberapa Undang-Undang Darurat, antara lain: - Undang-Undang Darurat No.2/1957 tentang Pembubaran Daerah Makassar, Jeneponto dan Takalar. - Undang-Undang Darurat No. 3/1957 tentang Pembubaran Daerah Luwu dan Pembentukan Bone, Wajo dan Soppeng. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Darurat No. 4/1957, maka Daerah Luwu menjadi daerah Swatantra dan terpisah dengan Tana Toraja.

Daerah Swatantra Luwu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Darurat No.3/1957 adalah meliputi:

  • Kewedanaan Palopo
  • Kewedanaan Masamba dan
  • Kewedanaan Malili

Kemudian pada tanggal 1 Maret 1960 ditetapkan PP Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pembentukan Propinsi Administratif Sulawesi Selatan mempunyai 23 Daerah Tingkat II, salah satu diantaranya adalah Daerah Tingkat II Luwu.

Untuk menciptakan keseragaman dan efisiensi struktur Pemerintahan Daerah, maka berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara No.1100/1961, dibentuk 16 Distrik di Daerah Tingkat II Luwu, yaitu: - Wara - Larompong - Suli - Bajo - Bupon - Bastem - Walenrang - Limbong - Sabbang - Malangke - Masamba - Bone-Bone - Wotu - Mangkutana - Malili - Nuha

Dengan 143 Desa gaya baru. Empat bulan kemudian, terbit SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara No.2067/1961 tanggal 18 Desember 1961 tentang Perubahan Status Distrik di Sulawesi Selatan termasuk di Daerah Tingkat II Luwu menjadi Kecamatan. Dengan berpedoman pula pada SK tersebut, maka status Distrik di Daerah Tingkat II Luwu berubah menjadi kecamatan dan nama-nama kecamatannya tetap berpedoman pada SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara No. 1100/1961 tertanggal 16 Agustus 1961, dengan luas wilayah 25.149 km2.

Perkembangan dari segi Administratif Pemerintahan di Dati II Luwu, selain pemekaran kecamatan, desa dan kelurahan juga ditetapkannya Dati II Luwu sebagai salah satu Kota Administratif (KOTIP) berdasarkan SK Mendagri No.42/1986 tanggal 17 September 1986.

Dengan demikian secara Administratif Dati II Luwu terdiri dari satu Kota Administratip, tiga Pembantu Bupati, 21 Kecamatan Definitif, 13 Kecamatan Perwakilan, 408 Desa Definitif, 52 Desa Persiapan dan Kelurahan dengan luas wilayah berdasarkan data dari Subdit Tata Guna Tanah Direktorat Agraria Propinsi Sulawesi Selatan adalah 17.791,43 km2 dan dikuatkan dengan Surat Keputusan Gubernur KDH Tingkat I Sulawesi Selatan Nomor 124/III/1983 tanggal 9 Maret 1983 tentang penetapan luas propinsi, kabupaten/kotamadya dan kecamatan dalam wilayah propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan.

Luas Wilayah Propinsi Kabupaten/Kotamadya dan Kecamatan yang ada sekarang sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan nyata dilapangan oleh karena telah terjadi penyempurnaan batas wilayah antar propinsi di Sulawesi Selatan, maka melalui kerjasama Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Sul-Sel dan Topografi Kodam VII Wirabuana, Pemerintah Propinsi Tingkat I Sulawesi Selatan telah berhasil menyusun data tentang luas wilayah propinsi, kabupaten/ kotamadya dan kecamatan di daerah Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan dengan Surat Keputusan Gubernur KDH Tk.I Sul-Sel Nomor : SK.164/IV/1994 tanggal 4 April 1994. Total luas wilayah Kabupaten Luwu adalah 17.695,23 km2 dengan 21 kecamatan definitif dan 13 Kecamatan Pembantu.

Pada tahun 1999, saat awal bergulirnya Reformasi di seluruh wilayah Republik Indonesia, dimana telah dikeluarkannya UU No.22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan di Daerah, dan mengubah mekanisme pemerintahan yang mengarah pada Otonomi Daerah.

Tepatnya pada tanggal 10 Februari 1999, oleh DPRD Kabupaten Luwu mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 03/Kpts/DPRD/II/1999, tentang Usul dan Persetujuan Pemekaran Wilayah Kabupaten Dati II Luwu yang dibagi menjadi dua Wilayah Kabupaten dan selanjutnya Gubernur KDH Tk.I Sul-Sel menindaklanjuti dengan Surat Keputusan No.136/776/OTODA tanggal 12 Februari 1999. Akhirnya pada tanggal 20 April 1999, terbentuklah Kabupaten Luwu Utara ditetapkan dengan UU Republik Indonesia No.13 Tahun 1999.

Pemekaran Wilayah Kabupaten Dati II Luwu terbagi atas:

  1. 1 Kabupaten Dati II Luwu dengan batas Saluampak Kec. Lamasi dengan batas Kabupaten Wajo dan Kabupaten Tana Toraja, dari 16 kecamatan, yaitu:
  • Kecamatan Lamasi
  • Kecamatan Walenrang
  • Kecamatan Pembantu Telluwanua
  • Kecamatan Warautara
  • Kecamatan Wara
  • Kecamatan Pembantu Wara Selatan
  • Kecamatan Bua
  • Kecamatan Pembantu Ponrang
  • Kecamatan Bupon
  • Kecamatan Bastem
  • Kecamatan Pembantu Latimojong
  • Kecamatan Bajo
  • Kecamatan Belopa
  • Kecamatan Suli
  • Kecamatan Larompong
  • Kecamatan Pembantu Larompong Selatan
  1. 2 Kabupaten Luwu Utara dengan batas Saluampak Kec. Sabbang sampai dengan batas Propinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, terdiri dari 19 Kecamatan, yaitu:
  • Kecamatan Sabbang
  • Kecamatan Pembantu Baebunta
  • Kecamatan Limbong
  • Kecamatan Pembantu Seko
  • Kecamatan Malangke
  • Kecamatan Malangke Barat
  • Kecamatan Masamba
  • Kecamatan Pembantu Mappedeceng
  • Kecamatan Pembantu Rampi
  • Kecamatan Sukamaju
  • Kecamatan Bone-Bone
  • Kecamatan Pembantu Burau
  • Kecamatan Wotu
  • Kecamatan Pembantu Tomoni
  • Kecamatan Mangkutana
  • Kecamatan Pembantu Angkona
  • Kecamatan Malili
  • Kecamatan Nuha
  • Kecamatan Pembantu Towuti
  1. 3 Kota Palopo adalah salah saatu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Kota Palopo sebelumnya berstatus kota administratif yang berlaku sejak 1986 berubah menjadi kota otonom sesuai dengan UU Nomor 11 tahun 2002 tanggal 10 April 2002. Kota ini memiliki luass wilayah 155,19 Km2 dan berpenduduk sejumlah 120.748 jiwa dan dengan jumlah Kecamatan:
  • Kecamatan Wara
  • Kecamatan Wara Utara
  • Kematan Wara Selatan
  • Kecamatan Telluwanua
  • Kecmatan Wara Timur
  • Kecamatan Wara Barat
  • Kematan Mungkajang
  • Kecamaatan Bara
  • Kecamatan Sendana
  1. 4 Kabupaten Luwu Timur adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Kabupaten ini berasal dari pemekaran Kabupaten Luwu Utara yang disahkan dengan UU Nomor 7 Tahun 2003 pada tanggal 25 Februari 2003. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 6.944,98 km2, dengan Kecamatan masing-masing:
  • Kecamatan Angkona
  • Kecamatan Burau
  • Kecamatan Malili
  • Kecamatan Mangkutana
  • Kecamatan Nuha
  • Kecamatan Sorowako
  • Kecamatan Tomoni
  • Kecamatan Tomoni Utara
  • Kecamatan Towuti
  • Kecamatan Wotu

Setelah pembagian Wilayah Kabupaten Luwu dari dua Kabupaten menjadi tiga Kabupaten dan satu Kota, maka secara otomatis luas Wilayah Kabupaten ini berkurang dengan Kabupaten Luwu, Kabupaten Luwu Utara, Kabupaten Luwu Timur dan Kota Palopo berdasarkan batas yang telah ditetapkan, yaitu:

  • Luas Wilayah Kabupaten Luwu adalah 3.092,58 km2
  • Luas Wilayah Kabupaten Luwu Utara adalah 7.502,48 km2
  • Luas Wilayah Kota Palopo menjadi 155.19 km2.
  • Luas Wilayah Kabupaten Luwu Timur menjadi 6.944,98 km2.

Senin, 03 Mei 2010

INFO HEALTH : PEREMPUAN CANTIK BURUK BAGI KESEHATAN PRIA

Perempuan Cantik Buruk Bagi Kesehatan Pria

AN Uyung Pramudiarja - detikHealth ( RE POST BY. ASRIEL BATIGOL )


img
Scarlett Johanssons (Gettyimage)
Valencia, Hanya lima menit pria berdekatan dengan seorang perempuan cantik dan menarik akan meningkatkan kadar kortisol alias hormon pemicu stres. Jika kadar kortisol tinggi akan memperburuk kondisi kesehatan pria karena ancaman penyakit jantung, diabetes, hipertensi dan impotensi.

Penelitian itu ditemukan oleh ilmuwan dari University of Valencia. Peningkatan kadar kortisol akan semakin tinggi jika wanita cantik yang ditemui belum dikenal atau asing.

Jika si pria gagal melakukan pendekatan, risiko terburuk yang mungkin dihadapi karena meningkatnya kortisol secara cepat adalah stroke dan serangan jantung. Koran Inggris, The Mail edisi Senin (3/5/2010) menyebut efek tersebut hampir setara dengan melompat dari atas pesawat.

Tim dari University of Valencia, Spanyol, dilansir dari News.com.au, Selasa (4/5/2010) melakukan kajian terhadap 84 pelajar pria dengan bayaran masing-masing 10 poundsterling (sekitar 16 dolar AS).

Kadar kortisol pada para pelajar diukur sesaat sebelum ditinggalkan berduaan dengan wanita cantik yang tidak mereka kenal. Pengukuran dilakukan kembali segera setelah pertemuan yang hanya berdurasi 5 menit tersebut berakhir.

Peneliti awalnya meminta masing-masing partisipan untuk duduk di sebuah ruangan dan memecahkan teka-teki Sudoku. Isi ruangan itu dua orang asing, satu laki-laki dan satu perempuan cantik serta partispan si pria.

Ketika dua orang asing meninggalkan ruangan dan dua orang tetap duduk bersama-sama si wanita cantik, tingkat stres si pria itu masih baik. Tapi ketika partisipan ditinggalkan sendirian dengan wanita cantik tingkat kortisolnya langsung meningkat tajam.

Untuk penelitian tersebut, sengaja dipilih wanita muda dengan penampilan cantik, atraktif serta menawan hati. Hasil pengukuran menunjukkan, kadar kortisol pada para pelajar meningkat setelah 5 menit berduaan dengan sang bidadari.

Menurut para peneliti, hal ini menunjukkan bahwa interaksi dengan lawan jenis dapat merangsang pelepasan kortisol. Diduga, kehadiran wanita cantik bagi sebagian besar pria telah membentuk persepsi tentang adanya peluang untuk hubungan yang lebih intim.

Lantas apa yang terjadi ketika salah satu di antara pelajar itu berhasil mengencani si wanita cantik? Tim peneliti mengklaim, dampaknya malah jauh lebih buruk ketika interaksi tersebut berlanjut untuk waktu yang lama.

"Ironisnya, ini justru bisa memicu impotensi. Pemicunya adalah kelebihan kortisol yang sifatnya kronis, sebagai dampak dari stres yang berkelanjutan," ungkap para peneliti.

Kortisol dalam dosis kecil memberikan efek positif meningkatkan kewaspadaan dan bermanfaat dalam pengaturan gula darah. Tapi hormon ini selalu meningkat saat sedang frustrasi sehingga disebut juga 'hormon stres'.

Yang berbahaya adalah peningkatan kadar kortisol secara kronis yang dapat memperburuk kondisi medis seperti penyakit jantung, diabetes, hipertensi dan impotensi.

Kamis, 22 April 2010

MANFAAT IMUNISASI BCG DALAM PENCEGAHAN TB PARU


PROPOSAL PENELITIAN

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU IBU DENGAN

WAKTU PEMBERIAN IMUNISASI BCG






O L E H


ASRIEL TALARAN
C 121 09 521

PROGRAM STUDY ILMU KEPERAWATAN
F A K U L T A S K E D O K T E R A N UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2009







BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sistem imunitas bayi dan anak belumlah sempurna, yakni masih dalam proses perkembangan dan pematangan hingga mereka mencapai usia dewasa. Kondisi ini menyebabkan mereka relatif mudah tertular berbagai penyakit infeksi, termasuk TBC. Karena itu, para orang tua mesti memberikan perhatian dan perlindungan ekstra terhadap bayi dan anak dari penularan TBC.

Laporan TB dunia oleh WHO yang terbaru (2006), masih menempatkan Indonesia sebagai penyumbang terbesar nomor 3 di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah kasus baru sekitar 539.000 dan jumlah kematian sekitar 101.000 per tahun. ( I Nyoman Kandung, 2006). Penyakit TBC pada anak adalah fenomena yang sangat mencemaskan. Jumlah Kasus TBC pada anak di Indonesia sekitar seperlima dari seluruh Kasus TBC.

Bayi dan anak-anak lebih rentan terinfeksi Mycobacterium Tuberculosis penyebab penyakit TBC, antara lain disebabkan karena sistem imunitas yang belum sempurna, kontak erat dengan orang dewasa penderita TBC di sekitarnya, seperti orang tua, kerabat dekat, pengasuhnya dan sebagainya, kurangnya kesadaran orang tua untuk sedini mungkin melakukan vaksinasi BCG pada bayi baru lahir dan buruknya kualitas gizi pada sebagian bayi dan anak di Indonesia.

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, sistem kekebalan tubuh bayi dan anak belum sempurna ( masih terus berkembang ). Untuk menghindarkan bayi dan anak dari penyakit TBC yang berat, seperti TBC milier dan meningitis TBC, sistem imunitas mereka perlu ditingkatkan melalui vaksinasi Basil Calmette Guerin ( BCG ). BCG merupakan vaksin yang terdiri dari hasil basil TBC hidup yang telah dilemahkan kemampuannya dalam menimbulkan penyakit ( virulensinya ), sehingga mampu merangsang sel-sel imunitas untuk memberikan kekebalan terhadap infeksi Mycobacterium Tuberculosis. Ini dilakukan tanpa membuat bayi atau anak menjadi sakit.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa vaksinasi ini mampu memberikan perlindungan sebesar 80 % pada bayi atau anak selama 15 tahun, bila diberikan sebelum anak terinfeksi M. tuberculosis untuk pertama kalinya, yang ditandai oleh uji tuberculin negative. Waktu terbaik pemberian vaksin BCG adalah segera setelah bayi dilahirkan. Namun, jika bayi telah berusia dua bulan atau lebih, perlu dilakukan tes tuberculin lebih dulu sebelum dilakukan vaksinasi BCG karena sudah tidak efektif lagi kalau sudah terpapar oleh bakteri penyebab TBC ini.

Dari data Cakupan Imunisasi BCG yang ada di Puskesmas Latimojong Kabupaten Luwu Tahun 2008, dari 137 bayi yang ada, yang mendapatkan imunisasi BCG hanya sekitar 120 bayi. Dan setelah melihat fakta yang ada di lapangan, banyak bayi yang > dari 1 bulan yang belum mendapatkan vaksinasi BCG ini. Dari wawancara langsung secara acak di lapangan sebagai petugas kesehatan pada saat itu, yang penulis lakukan tanpa memberi tahu responden tentang maksud dan tujuan, maka didapatkan data ada ibu yang memang belum tahu waktu pemberian vaksin BCG yang efektif, ada yang tahu tapi kurang motivasi untuk membawa bayinya untuk di beri imunisasi BCG, ada juga yang sibuk dengan pekerjaan sehingga tidak sempat membawa bayinya untuk diimunisasi pada bulan pertama kelahirannya, ada juga yang karena budaya setempat belum bisa membawa anaknya keluar rumah pada bulan pertama kelahiran.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian singkat dalam latar belakang masalah di atas, maka penulis Mengidentifikasi apakah ada hubungan antara tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku ibu dengan waktu pemberian imunisasi BCG pada bayi di Puskesmas Latimojong Kabupaten Luwu.

C. Tujuan Penelitian

  1. Tujuan Umum

Mengetahui Hubungan Pengetahuan, Sikap Dan Perilaku Ibu Terhadap Waktu Pemberian Imunisasi BCG Pada Bayi.

  1. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi Tingkat Pengetahuan Ibu dengan waktu pemberian Imunisasi BCG pada bayi

b. Mengidentifikasi Sikap Ibu dengan waktu pemberian Imunisasi BCG pada bayi

c. Mengidentifikasi Perilaku Ibu dengan waktu pemberian Imunisasi BCG pada bayi

d. Mengidentifikasi hubungan Tingkat Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Ibu dengan Waktu Pemberian Imunisasi BCG pada bayi.

D. Manfaat Penelitian

  1. Teoritis

a. Dapat dijadikan sumber informasi (data dasar) bagi institusi pendidikan keperawatan dan Puskesmas / Dinas Kesehatan untuk Peningkatan Pencapaian Cakupan Imunisasi khususnya imunisasi BCG

b. Dapat di jadikan sumber informasi (data dasar) bagi peneliti selanjutnya untuk mengembangkan kegiatan penelitian tentang Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Terhadap Pemberian Imunisasi BCG pada Bayi sedini mungkin

c. Meningkatkan pengetahuan penelitian tentang waktu yang tepat pemberian Imunisasi BCG pada bayi

  1. Praktik

a. Dapat digunakan oleh Pengelola Imunisasi tingkat Puskesmas / Dinas Kesehatan untuk informasi mengenai gambaran Cakupan Imunisasi BCG pada Bayi.

b. Sebagai masukan kepada pihak Puskesmas / Dinas Kesehatan untuk mencapai Universal Child Immunization (UCI) melalui peningkatan pengetahuan dan peran serta ibu dalam pemberian imunisasi BCG pada bayi

BAB ll
TINJAUAN PUSTAKA

Dalam tinjauan pustaka ini akan diuraikan konsep-konsep teori yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti, terutama yang berhubungan dengan variabel penelitian, sehingga dapat digunakan sebagai dasar berpijak dalam melakukan penelitian. Pada bab ini akan diuraikan tentang : A. Perilaku Kesehatan, B. Bentuk Perilaku, C. Domain Perilaku Kesehatan, D. Konsep Imunisasi BCG dan E. Peran Orang Tua ( Ibu ) terhadap Pemberian Imunisasi

A. Perilaku Kesehatan

Masalah kesehatan masyarakat, terutama di negara-negara berkembang pada dasarnya menyangkut dua aspek utama, yaitu fisik, seperti misalnya tersedianya sarana kesehatan dan pengobatan penyakit, dan non-fisik yang menyangkut perilaku kesehatan. Faktor perilaku ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap status kesehatan individu maupun masyarakat.

Perilaku manusia merupakan hasil daripada segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Dengan kata lain, perilaku merupakan respon/reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Respon ini dapat bersifat pasif (tanpa tindakan: berfikir, berpendapat, bersikap) maupun aktif (melakukan tindakan). Sesuai dengan batasan ini, perilaku kesehatan dapat dirumuskan sebagai segala bentuk pengalaman dan interaksi individu dengan lingkungannya, khususnya yang menyangkut pengetahuan, dan sikap tentang kesehatan, serta tindakannya yang berhubungan dengan kesehatan.

Keberhasilan upaya pencegahan dan pengobatan penyakit tergantung pada kesediaan orang yang bersangkutan untuk melaksanakan dan menjaga perilaku sehat. Banyak dokumentasi penelitian yang memperlihatkan rendahnya partisipasi masyarakat dalam pemeriksaan kesehatan, imunisasi, serta berbagai upaya pencegahan penyakit dan banyak pula yang tidak memanfaatkan pengobatan modern. Karena itu tidaklah mengherankan bila banyak ahli ilmu perilaku yang mencoba menyampaikan konsep serta mengajukan bukti-bukti penelitian untuk menggambarkan, menerangkan, dan meramalkan keputusan-keputusan orang yang berkaitan dengan kesehatan.

Becker menuliskan pendapat Kasl dan Cobb yang mengatakan bahwa biasanya orang terlibat dengan kegiatan medis karena 3 alasan pokok , yaitu:

  1. Untuk pencegahan penyakit atau pemeriksaan kesehatan pada saat gejala penyakit belum dirasakan (perilaku sehat);
  2. Untuk mendapatkan diagnosis penyakit dan tindakan yang diperlukan jika ada gejala penyakit yang dirasakan (perilaku sakit);
  3. Untuk mengobati penyakit, jika penyakit tertentu telah dipastikan, agar sembuh dan sehat seperti sediakala, atau agar penyakit tidak bertambah parah (peran sakit).

Menurut Notoatmodjo, semua ahli kesehatan masyarakat dalam membicarakan status kesehatan mengacu kepada Bloom. Dari hasil penelitiannya di Amerika Serikat sebagai salah satu negara yang sudah maju, Bloom menyimpulkan bahwa lingkungan mempunyai andil yang paling besar terhadap status kesehatan, kemudian berturut-turut disusul oleh perilaku mempunyai andil nomor dua, pelayanan kesehatan dan keturunan mempunyai andil yang paling kecil terhadap status kesehatan. Bagaimana proporsi pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap status kesehatan di negara berkembang seperti Indonesia belum ada penelitian. Ahli lain, Lewrence Green menjelaskan bahwa perilaku itu dilatarbelakangi atau dipengaruhi oleh tiga faktor pokok yakni: faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), factor–faktor yang mendukung (enabling factors) dan faktor-faktor yang memperkuat atau mendorong ( reinforcing factors). Oleh sebab itu pendidikan kesehatan sebagai faktor usaha intervensi perilaku harus diarahkan kepada ketiga faktor pokok tersebut.

B. Bentuk Perilaku

Secara lebih operasional perilaku dapat diartikan suatu respon organisme atau seseorang terhadap rangsangan (stimulus) dari luar subjek tersebut. Respon ini berbentuk dua macam, yakni :

1. Bentuk pasif adalah respon internal, yaitu yang terjadi di dalam diri manusia dan tidak secara langsung dapat terlihat oleh orang lain, misalnya berfikir, tanggapan atau sikap batin, dan pengetahuan. Misalnya seorang ibu tahu bahwa imunisasi itu dapat mencegah suatu penyakit tertentu, meskipun ibu tersebut tidak membawa anaknya ke puskesmas untuk diimunisasi. Contoh lain adalah seorang yang menganjurkan orang lain untuk mengikuti keluarga berencana meskipun ia sendiri tidak ikut keluarga berencana. Dari kedua contoh tersebut terlihat bahwa ibu telah tahu gunanya imunisasi, dan contoh kedua orang tersebut telah mempunyai sikap yang positif untuk mendukung keluarga berencana, meskipun mereka sendiri belum melakukan secara konkret terhadap kedua hal tersebut. Oleh sebab itu perilaku mereka ini masih terselubung ( covert behavior )

2. Bentuk aktif, yaitu apabila perilaku itu jelas dapat diobservasi secara langsung. Misalnya pada kedua contoh tersebut, si ibu sudah membawa anaknya ke puskesmas atau fasilitas kesehatan lain untuk imunisasi, dan orang pada kasus kedua sudah ikut keluarga berencana dalam arti sudah menjadi akseptor KB. Oleh karena perilaku mereka ini sudah tampak dalam bentuk tindakan nyata, maka disebut “overt behavior.”

C. Domain Perilaku Kesehatan

Notoatmodjo berpendapat bahwa perilaku manusia itu sangat kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang sangat luas. Benyamin Bloom seorang ahli psikologi pendidikan membagi perilaku itu ke dalam 3 domain (ranah/kawasan), meskipun kawasan-kawasan tersebut tidak mempunyai batasan yang jelas dan tegas. Pembagian kawasan ini dilakukan untuk kepentingan tujuan pendidikan. Bahwa dalam tujuan suatu pendidikan adalah mengembangkan atau meningkatkan ketiga domain perilaku tersebut, yang terdiri dari :

a) Ranah kognitif (cognitive domain)

b) Ranah afektif (affective domain)

c) Ranah psikomotor (psycomotor domain).

Dalam perkembangan selanjutnya oleh para ahli pendidikan, dan untuk kepentingan pengukuran hasil pendidikan, ketiga domain ini diukur dari :

  1. Pengetahuan peserta didik terhadap materi pendidikan yang diberikan (knowledge)
  2. Sikap atau tanggapan peserta didik terhadap materi pendidikan yang diberikan ( attitude)
  3. Praktek atau tindakan yang dilakukan oleh peserta didik sehubungan dengan materi pendidikan yang diberikan (practice)

Terbentuknya suatu perilaku baru, terutama pada orang dewasa dimulai pada domain kognitif, dalam arti subjek tahu terlebih dahulu terhadap stimulus yang berupa materi atau objek di luarnya, sehingga menimbulkan pengetahuan baru pada subjek tersebut. Ini selanjutnya menimbulkan respon batin dalam bentuk sikap si subjek terhadap objek yang diketahui itu. Akhirnya rangsangan yakni objek yang telah diketahui dan disadari sepenuhnya tersebut akan menimbulkan respon lebih jauh lagi, yaitu berupa tindakan (action) terhadap atau sehubungan dengan stimulus atau objek tadi. Namun demikian, di dalam kenyataan stimulus yang diterima subjek dapat langsung menimbulkan tindakan. Artinya seseorang dapat bertindak atau berperilaku baru tanpa mengetahui terlebih dahulu makna stimulus yang diterimanya. Dengan kata lain tindakan (practice) seseorang tidak harus didasari oleh pengetahuan atau sikap.

1) Pengetahuan (Knowledge)

Pengetahuan merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang ( overt behavior). Karena itu dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Notoatmodjo mengungkapkan pendapat Rogers bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru) di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni :

a) Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek)

b) Interest ( merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut. Di sini sikap subjek sudah mulai terbentuk

c) Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi

d) Trial, dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus

e) Adoption, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.

Namun demikian dari penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-tahap tersebut di atas.

2) Sikap (Attitude)

Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Dari berbagai batasan tentang sikap dapat disimpulkan bahwa manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu.

Newcomb salah seorang ahli psikologi sosial menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksana motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan atau perilaku.

Dalam bagian lain Allport, menurut Notoatmodjo, menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3 komponen pokok, yakni :

a. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek

b. Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek

c. Kecenderungan untuk bertindak

Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap ini, pengetahuan, berfikir, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting. Suatu contoh misalnya, seorang ibu telah mendengar penyakit TBC (penyebabnya, akibatnya, pencegahannya, dan sebagainya). Pengetahuan ini akan membawa ibu untuk berfikir dan berusaha supaya anaknya tidak terkena TBC. Dalam berfikir ini komponen emosi dan keyakinan ikut bekerja sehingga ibu tersebut berniat akan mengimunisasikan anaknya untuk mencegah anaknya terkena TBC.

Seperti halnya pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan, yakni :

1) Menerima (Receiving)

Subjek mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan objek

2) Merespon (Responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya serta mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan. Lepas jawaban dan pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti orang menerima ide tersebut.

3) Menghargai (Valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan terhadap suatu masalah

4) Bertangguang jawab (Responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya merupakan tingkat sikap yang paling tinggi.

Pengukuran sikap dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaiamana pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu objek. Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataan - pernyataan hipotesis, kemudian ditanyakan pendapat responden ( Sangat setuju, setuju, tidak setuju, sangat tidak setuju)

3) Praktek atau Tindakan (Practice)

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain fasilitas. Sikap ibu yang sudah positif terhadap imunisasi harus mendapat konfirmasi dari suaminya dan ada fasilitas imunisasi yang mudah dicapai, agar ibu tersebut dapat mengimunisasikan anaknya.

Tingkat-tingkat Praktek :

a. Persepsi (Perception)

Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil .

b. Respon Terpimpin (Guided Respons)

Dapat melakukan sesuatu dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh.

c. Mekanisme (Mechanism)

Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau suatu ide sudah merupakan suatu kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktek tingkat tiga.

d. Adaptasi (Adaptation)

Merupakan praktek yang sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasinya sendiri tanpa mengurangi kebenaran tindakannya tersebut.

Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung, yakni dengan wawancara terhadap kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari, atau bulan yang lalu (recall). Pengukuran langsung dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden.

D. Konsep Imunisasi BCG

1) Pengertian

Imunisasi berasal dari kata imun, kebal atau resisten. Jadi Imunisasi adalah suatu tindakan untuk memberikan kekebalan dengan cara memasukkan vaksin ke dalam tubuh manuasia. Sedangkan kebal adalah suatu keadaan dimana tubuh mempunyai daya kemampuan mengadakan pencegahan penyakit dalam rangka menghadapi serangan kuman tertentu. Kebal atau resisten terhadap suatu penyakit belum tentu kebal terhadap penyakit lain. (Depkes RI, 1994)

Dalam ilmu kedokteran, imunitas adalah suatu peristiwa mekanisme pertahanan tubuh terhadap invasi benda asing hingga terjadi interaksi antara tubuh dengan benda asing tersebut. Adapun tujuan imunisasi adalah merangsang sistim imunologi tubuh untuk membentuk antibody spesifik sehingga dapat melindungi tubuh dari serangan Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I). (Musa, 1985). Departemen Kesehatan RI (2004), menyebutkan imunisasi adalah suatu usaha yang dilakukan dalam pemberian vaksin pada tubuh seseorang sehingga dapat menimbulkan kekebalan terhadap penyakit tertentu.

(http://www.health.nsw.gov.au/resources/publichealth/infectious/tb/pdf/bcg_information_ind.pdf )

Menurut Depkes RI (2001), tujuan pemberian imunisasi adalah untuk mencegah penyakit dan kematian bayi dan anak-anak yang disebabkan oleh wabah yang sering muncul. Pemerintah Indonesia sangat mendorong pelaksanaan program imunisasi sebagai cara untuk menurunkan angka kesakitan, kematian pada bayi, balita/ anak-anak pra sekolah.

Untuk tercapainya program tersebut perlu adanya pemantauan yang dilakukan oleh semua petugas baik pimpinan program, supervisor dan petugas imunisasi vaksinasi dan juga orang tua bayi. Untuk memaksimalkan partisipasi orang tua ( ibu ) bayi mengunjungi posyandu untuk memberikan imunisasi pada anaknya maka perlu meningkatkan pengetahuan mereka tentang manfaat, waktu pemberian serta efek samping yang ditimbulkan setelah diimunisasi.

Salah satu dari 7 imunisasi dasar yang diberikan di Posyandu adalah BCG. Vaksin BCG merupakan vaksin dari basil TBC hidup yang telah dilemahkan kemampuannya dalam menimbulkan penyakit ( virulensinya ), sehingga mampu merangsang sel-sel imunitas untuk memberikan kekebalan terhadap infeksi Mycobacterium Tuberculosis, yaitu sejenis bakteri sejenis bakteri Batang yang Tahan Asam (BTA) dengan ukuran panjang 1-4/Um dan ketebalan 0,3 – 0,6/Um, yang ditularkan melalui percikan dahak ( droplet ) dari penderita TBC kepada individu lain yang rentan.

Imunisasi dengan vaksin BCG sangat penting untuk mengendalikan penyebaran penyakit TBC. Vaksin ini akan memberi tubuh kekebalan aktif terhadap penyakit TBC. Vaksin ini hanya perlu diberikan sekali seumur hidup, karena pemberian lebih dari sekali pun tidak berpengaruh. Tetapi imunisasi BCG juga tidak sepenuhnya dapat melindungi manusia dari serangan TBC. Tingkat efektivitas vaksin BCG memang ’hanya’ 70-80 %. Beberapa negara maju menetapkan kebijakan tidak perlu imunisasi BCG, cukup mengawasi dengan ketat kelompok yang beresiko tinggi. Tetapi untuk Indonesia, vaksin ini masih sangat dibutuhkan, mengingat posisi Indonesia yang no 3 di dunia sebagai negara dengan jumlah penderita TBC terbanyak.

2) Waktu Pemberian

Vaksin BCG akan sangat efektif bila diberikan segera setelah lahir atau paling lambat 2 bulan setelah lahir (dengan catatan selama itu bayi tidak kontak dengan pengidap TB aktif). Meskipun BCG tidak dapat 100 % mencegah TBC paru-paru, tetapi pemberian vaksin ini akan melindungi anak dari bentuk-bentuk TBC yang lebih ganas (meningeal TB dan miliary TB). Anak yang sudah diimunisasi BCG, lalu terinfeksi kuman TB, umumnya tidak berkembang menjadi sakit. Kalaupun sampai berkembang menjadi TB aktif, biasanya perkembangbiakan kuman akan terlokalisir di paru-paru saja (pulmonary TB). Selain imunisasi, orangtua juga harus memperhatikan asupan gizi anak. Asupan gizi yang baik ditambah imunisasi BCG, diharapkan cukup ampuh menangkal serangan bakteri TB. Kalaupun anak sampai terinfeksi, dampaknya akan lebih ringan.

3) Dosis dan Cara Pemberian

Tambahkan pelarut ( 4 ml ) ke dalam ampul berisi vaksin BCG beku kering dengan alat suntik yang steril dan kering dan jarum yang panjang. Disuntikkan secara intrakutan di daerah insertio M. Deltoideus. Dengan dosis 0,05 ml.

Imunisasi BCG tidak menyebabkan reaksi yang bersifat umum seperti demam. Satu hingga dua minggu kemudian timbul indurasi dan eritema di tempat suntikkan yang berubah menjadi pustula, kemudian pecah menjadi ulkus. Luka ini tidak memerlukan pengobatan, akan sembuh secara spontan dan meninggalkan tanda parut.
Kadang-kadang terjadi pembesaran kelenjar regional di ketiak dan/atau leher, terasa padat, tidak sakit dan tidak menimbulkan demam. Reaksi ini normal, tidak memerlukan pengobatan, dan akan menghilang dengan sendirinya.

E. Peran Orang Tuan ( Ibu ) dalam imunisasi

Peningkatan cakupan imunisasi melalui pendidikan orang tua telah menjadi strategi populer di berbagai negara. Strategi ini berasumsi bahwa anak-anak tidak akan diimunisasi secara benar disebabkan orang tua tidak mendapat penjelasan yang baik atau karena memiliki sikap yang buruk tentang imunisasi.

Program imunisasi dapat berhasil jika ada usaha yang sungguh-sungguh dan berkesinambungan pada orang- orang yang memiliki pengetahuan dan komitmen yang tinggi terhadap imunisasi. Jika suatu program intervensi preventif seperti imunisasi ingin dijalankan secara serius dalam menjawab perubahan pola penyakit dan persoalan pada anak dan remaja, maka perbaikan dalam evaluasi perilaku kesehatan masyarakat sangat diperlukan.

Strobino mengatakan bahwa banyak literatur yang menghubungkan antara faktor orang tua dengan penggunaaan sarana kesehatan baik itu untuk tindakan pencegahan atau pengobatan penyakit, namun hanya sedikit penelitian yang secara khusus mencari hubungan antara pengetahuan dan sikap orang tua dengan imunisasi anak.

Cakupan imunisasi yang rendah merupakan persoalan yang kompleks. Bukan hanya karena faktor biaya, karena ternyata vaksin gratis ternyata juga tidak menjadi jaminan bagi suksesnya imunisasi. Bates mengemukakan hasil penelitian Becher yang mendapatkan bahwa ibu –ibu yang yang anaknya jarang terserang penyakit adalah mereka yang lebih sering memanfaatkan sarana-sarana kesehatan pencegahan. Mereka mengaku bahwa dengan memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap sarana pencegahan dan melakukan usaha pencegahan yang teratur, anak mereka dapat terhindar dari sakit.

BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL

Berdasarkan uraian pada tinjauan pustaka maka dapat dirangkumkan kerangka dibawah ini berpikir peneliti dalam bentuk sebuah kerangka konsep seperti yang terlihat.

Keterangan : = yang akan diteliti

Gambar 3.1. Kerangka konseptual Hubungan Tingkat Pengetahuan, Sikap dan Perilaku ibu terhadap pemberian imunisasi BCG pada bayi secara dini

BAB IV
METODELOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Jenis Penelitian ini merupakan penelitian analitik yang berdasarkan pada ada tidaknya hubungan antar variabel. Desain penelitian yang digunakan yaitu cross sectional study (studi potong lintang) yaitu penelitian hanya dilakukan pada saat tertentu, dengan setiap subjek penelitian hanya dikenai satu kali pengukuran, tanpa dilakukan tindak lanjut atau pengulangan pengukuran.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di semua Posyandu dalam wilayah kerja Puskesmas Latimojong Kec. Latimojong Kabupaten Luwu , mulai tanggal 22 Desember 2009 sampai dengan tanggal 29 Desember 2009.

C. Populasi dan Sampel

Dilakukan wawancara dengan suatu kuisioner terancang. Populasi penelitian adalah ibu-ibu yang mempunyai bayi dibawah umur 5 tahun di semua Posyandu dalam wilayah kerja Puskesmas Latimojong Kec. Latimojong Kabupaten Luwu.

Pada penelitian ini penulis menentukan sampel dengan menggunakan rumus dari Azwar A, 1987 yaitu :

n =

Keterangan :

n = Besar sampel

N = Besarnya populasi

Z = Nilai standart normal untuk α = 0,05 adalah 1,96

p = Perkiraan proporsi, jika tidak diketahui dianggap 50 %

q = 1 - p atau sama dengan 100% - p

d = Tingkat kesalahan yang dipilih 0,05

D. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Kriteria Inklusi : responden yang memiliki anak berusia dibawah lima tahun, dalam wawancara dapat membawa atau menunjukkan Kartu Menuju Sehat (KMS) anak terkecilnya dan responden harus dapat menjawab seluruh pertanyaan secara lengkap.

Kriteria Eksklusi : ibu yang tidak hadir/menolak saat wawancara berlangsung, ibu yang memiliki anak berusia dibawah lima tahun tapi bertugas sebagai kader / tenaga kesehatan.

E. Variabel Penelitian, Defenisi Operasional dan Kategori

1. Variabel Independen:

a. Pengetahuan

Yaitu pemahaman ibu tentang pengertian imunisasi BCG, manfaat imunisasi BCG, Imunisasi lain yang telah diberikan, jarak pemberian imunisasi, jumlah kali pemberian BCG, tempat/lokasi pemberian imunisasi, penyakit yang ingin dicegah, reaksi samping imunisasi, imunisasi simultan, dan imunisasi ulangan. Dalam pengukurannya menggunakan Skala Godmant dengan Kriteria Objektif sebagai berikut :

1. Baik ( jika skor yang didapatkan ≥ 15 dari 10 pertanyaan)

2. Buruk ( jika skor yang didapatkan < 15 dari 10 pertanyaan )

b. Sikap

Yaitu setuju tidaknya ibu mencari informasi tentang imunisasi BCG sebagai tugas orang tua, setuju tidaknya ibu bahwa imunisasi BCG program yang sangat penting, penyakit yang ingin dicegah adalah serius dan berbahaya, tetap meneruskan pemberian imunisasi meski terjadi reaksi yang merugikan, imunisasi hanya untuk mensukseskan program pemerintah serta setuju tidaknya ibu pemberian beberapa jenis vaksin secara bersamaan/simultan. Dalam pengukurannya menggunakan Skala Linkert dengan Kriteria Objektif sebagai berikut :

1. Baik ( jika skor yang didapatkan ≥ 13 dari 6 pertanyaan)

2. Buruk ( jika skor yang didapatkan < 13 dari 6 pertanyaan )

c. Perilaku

Yaitu apakah ibu pernah membaca atau mengikuti penyuluhan tentang imunisasi BCG, bayi ibu sudah mendapat imunisasi secara lengkap, apakah KMS terpelihara dengan baik, anak ibu pernah mendapat 2 jenis atau lebih imunisasi dalam satu kali kunjungan, pernahkan menyampaikan pentingnya imunisasi BCG pada orang lain serta apakah ibu panik dengan reaksi yang timbul setelah penyuntikan vaksin BCG?. Dalam pengukurannya menggunakan Skala Linkert dengan Kriteria Objektif sebagai berikut :

1. Baik ( jika skor yang didapatkan ≥ 13 dari 6 pertanyaan)

2. Buruk ( jika skor yang didapatkan < 13 dari 6 pertanyaan )

F. Instrument Penelitian

Hal-hal yang ditanyakan antara lain: Identitas/karakteristik ibu (usia, tingkat pendidikan, jumlah balita, sumber informasi imunisasi). Pengetahuan tentang imunisasi BCG (apakah ibu mengetahui pengertian imunisasi BCG, manfaat, waktu yang tepat pemberian vaksin BCG, daerah/ lokasi penyuntikan vaksin BCG, berapa kali pemberian vaksin BCG, penyakit yang ingin dicegah, reaksi samping yang timbul dan imunisasi ulangan). Sikap (Apakah ibu setuju mencari informasi imunisasi BCG merupakan tugas orang tua, apakah imunisasi BCG penting, apakah penyakit yang ingin dicegah termasuk berat/serius, apakah imunisasi BCG dihentikan bila timbul reaksi, apakah dilakukan hanya untuk mensukseskan program pemerintah, dan setujukah dengan pemberian beberapa vaksin bersamaan). Perilaku (Pernahkah mengikuti penyuluhan, sudah lengkapkah imunisasi balita ibu, apakah KMS terjaga baik, apakah mendapat imunisasi simultan, apakah ada menyampaikan pentingnya imunisasi pada orang lain, dan apakah panik bila timbul reaksi).

Pewawancara adalah perawat / nakes lainnya dan kader posyandu yang sebelumnya telah dilatih tentang maksud pertanyaan, teknik bertanya serta cara menilai dan mencatat jawaban responden. Selanjutnya dilakukan uji coba untuk menyempurnakan bentuk kuisioner maupun pelaksanaan wawancara. Responden diminta untuk menjawab semua pertanyaan secara jujur, tanpa seorangpun dibenarkan, baik pewawancara maupun orang lain untuk mempengaruhinya. Setiap jawaban diberi tanda contreng pada nilai skor yang tersedia. Pengetahuan, sikap, dan perilaku dibagi atas dua tingkat yaitu baik dan buruk, berdasarkan jumlah skor pada masing-masing bidang.

G. Alur Penelitian



Skema 4.l . Alur penelitian

H. Pengolahan dan Penyajian Data

Pengelohan data dilakukan dengan menggunakan jasa komputer program SPSS versi 17,0. Sedangkan penyajian data dilakukan dalam bentuk tabel distribusi frekwensi dan disertai penjelasan tabel.

I. Analisa Data

Setelah data dikumpulkan selanjutnya dilakukan pengolahan data dengan proses sebagai berikut : (1) editing yaitu melihat data, apakah data yang diperoleh sudah terisi lengkap atau masih belum lengkap. (2) koding yaitu melakukan klasifikasi jawaban dari reponden menurut jenisnya dengan memberikan kode pada masing-masing jawaban menurut item kuisioner. (3) tabulasi data merupakan suatu langkah untuk memudahkan analisa data,dengan demikian data yang ada dikelompokan dalam tabel menurut sifat masing-masing subvariabel.

Desain penelitian : cross sectional study (studi potong lintang) yaitu penelitian hanya dilakukan pada saat tertentu, dengan setiap subjek penelitian hanya dikenai satu kali pengukuran, tanpa dilakukan tindak lanjut atau pengulangan pengukuran.

G. Etika Penelitian

1. Informed Consent

Penelitian dapat dilaksanakan Jika telah mendapat persetujuan tertulis dari responden sebagai bukti bahwa responden bersedia diteliti. Peneliti akan memberikan lembaran persetujuan untuk ditandatangani responden tetapi sebelumnya peneliti telah menjelaskan tujuan dan manfaat penelitian. Jika responden menolak maka peneliti tidak akan memaksa dan tetap menghargai hak responden.

2. Anonimity

Peneliti wajib menjaga kerahasiaan dan privasi responden dengan cara tanpa memberi nama dalam pengisian kuisiner. Penelitiannya memberikan kode pada setiap responden.

3. Confidentiality

Kerahasiaan informasi dan data yang diberikan responden wajib dijamin peneliti. Segala informasi yang diberikan oleh responden tidak dapat disebarluaskan oleh peneliti untuk kepentingan apapun.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2008), Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Edisi 2 cetakan kedua

Genis Ginanjar Wahyu (2008). TBC Pada Anak, Jakarta, Penerbit Dian Rakyat..

Nursalam & Pariani. (2000). Pendekatan Praktis Metologi Keperawatan. Sagung Seto. Jakarta. 11 – 135.

Nursalam. (2002). Managemen Keperawatan (Aplikasi dan Praktis). Salemba Medika. Jakarta. 313 – 314.

Azwar Azrul (1996) Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan.

Basuki B. (1999), Besar sampel. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: h. 135-48

Becker M.H, Maiman L.A (1995), Model-model perilaku kesehatan. Jakarta:UI-Press, 1995. h. 43-92

Dir Jen PPM&PLP DepKes RI ( 1993), Petunjuk teknis reaksi samping imunisasi; edisi ke-1. Jakarta, h. 1-27

Lubis, IZ, Lubis M, Loebis MS, Manoeroeng SM, Lubis CP (1990), Pengetahuan, sikap, dan perilaku orang tua tentang imunisasi, Majalah Kedokteran Nusantara, Edisi khusus 1: h. 1-11

Masjkuri NM (1985), Ibu-ibu yang tidak tahu tentang imunisasi: ciri-ciri dan kegiatannya yang dapat dipakai sebagai sarana pemberian informasi. Medika ; h. 842.

Notoatmodjo S ( 1997), Ilmu Kesehatan Masyarakat: Prinsip-Prinsip Dasar.Jakarta: PT Rineka Cipta, h. 95-133

Pokja KIPI Pusat (1999), Standar operasional program imunisasi khusus . Dirjen PPM & PLP Depkes RI, h. 1-10

Ranuh IGN (2001), Imunisasi upaya pencegahan primer. Dalam: Buku imunisasi di Indonesia, Edisi ke-1. Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta,. h. 1-3

Indah Setriani (2008), Penggunaan Vaksin BCG untuk pengobatan Tuberculosis, http://yosefw.wordpress.com

Mirzal Tawi, (2008), Imunisasi dan Faktor yang mempengaruhinya, http://yosefw.wordpress.com

Yasir Arifin (2008), Cegah TBC sejak dini, http://www.health.nsw.gov.au/resources/publichealth/infectious/tb/pdf/bcg_information_ind.pdf

Kamis, 20 Mei 2010

IMUNISASI

Adalah suatu upaya untuk menimbulkan/meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu
penyakit, sehingga bila kelak ia terpapar dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau sakit ringan.
Baca selengkapnya klik :
www.pppl.depkes.go.id/images_data/IMUNISASI.pdf

SEKALI MENDAYUNG, DUA TIGA PULAU TERLAMPAUI


Motto ini sudah tak asing lagi bagi kita...
So... ini yang terjadi dan saya alami sendiri saat ini....
Dengan penuh semangat datang di Kampus Unhas untuk mempermantap Ilmu-ilmu Keperawatan yang saya miliki, ternyata saya mendapatkan juga ilmu yang tidak kalah berharga.
Mata Kuliah IT yang diberikan sangat membantu saya untuk mengikuti perkembangan zaman saat ini... dimana dalam dunia keperawatan saat inipun dituntut untuk selalu berhubungan dengan tekhnologi terbaru khususnya di bidang IT.
Jujur aja.... pertama kali menginjakkan kaki di Kampus Merah, saya hanya punya modal IT seperti menggunakan Jejaring Sosial Face Book, kemudian hanya mampu mengoperasikan office word dan excell yang sangat minim....
\Dan sekarang... saya merasa lebih banyak perkembangan dari semula semenjak menerima mata Kuliah IT ini.... thanks for all dosen IT...... \sukses selalu Ners Unhas...
Voice of Hearth by. Asriel Talaran

Sejarah Tanah Luwu


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Sejarah Tanah Luwu sudah berawal jauh sebelum masa pemerintahan Hindia Belanda bermula. Sebelumnya Luwu telah menjadi sebuah kerajaan yang mewilayahi Tana Toraja (Makale, Rantepao) Sulawesi Selatan, Kolaka (Sulawesi Tenggara) dan Poso (Sulawesi Tengah). Hal sejarah Luwu ini dikenal pula dengan nama Tanah Luwu yang dihubungkan dengan nama La Galigo dan Sawerigading.

Setelah Belanda menundukkan Luwu, mematahkan perlawanan Luwu pada pendaratan tentara Belanda yang ditantang oleh hulubalang Kerajaan Luwu Andi Tadda bersama dengan laskarnya di Ponjalae pantai Palopo pada tahun 1905. Belanda selanjutnya mebangun sarana dan prasarana untuk memenuhi keperluan pemerintah penjajah diseluruh wilayah kerajaan Luwu mulai dari Selatan, Pitumpanua ke utara Poso, dan dari Tenggara Kolaka (Mengkongga) ke Barat Tana Toraja. Pada Pemerintahan Hindia Belanda, sistem pemerintahan di Luwu dibagi atas dua tingkatan pemerintahan, yaitu:

  • Pemerintahan tingkat tinggi dipegang langsung oleh Pihak Belanda.
  • Pemerintahan tingkat rendah dipegang oleh Pihak Swapraja.

Dengan terjadinya sistem pemerintahan dualisme dalam tata pemerintahan di Luwu pada masa itu, pemerintahan tingkat tinggi dipegang oleh Hindia Belanda, dan yang tingkat rendah dipegang oleh Swapraja tetapi tetap masih diatur oleh Belanda, namun secara de jure Pemerintahan Swapraja tetap ada. Menyusul setelah Belanda berkuasa penuh di Luwu, maka wilayah Kerajaan Luwu mulai diperkecil, dan dipecah sesuai dengan kehendak dan kepentingan Belanda, yaitu:

  • Poso (yang masuk Sulawesi Tengah sekarang) yang semula termasuk daerah Kerajaan Luwu dipisahkan, dan dibentuk satu Afdeling.
  • Distrik Pitumpanua (sekarang Kecamatan Pitumpanua dan Keera) dipisah dan dimasukkan kedalam wilayah kekuasaan Wajo.
  • Kemudian dibentuk satu afdeling di Luwu yang dikepalai oleh seorang Asisten Residen yang berkedudukan di Palopo.

Selanjutnya Afdeling Luwu dibagi menjadi 5 (lima) Onder Afdeling, yaitu:

  • Onder Afdeling Palopo, dengan ibukotanya Palopo.
  • Onder Afdeling Makale, dengan ibukotanya Makale.
  • Onder Afdeling Masamba, dengan ibukotanya Masamba.
  • Onder Afdeling Malili, dengan ibukotanya Malili.
  • Onder Afdeling Mekongga, dengan ibukotanya Kolaka.

Selanjutnya pada masa pendudukan tentara Dai Nippon, Pemerintah Jepang tidak merubah sistem pemerintahan, yang diterapkan tentara Dai Noppon pada masa berkuasa di Luwu (Tahun 1942), pada prinsipnya hanya meneruskan sistem pemerintahan yang telah diterapkan oleh Belanda, hanya digantikan oleh pembesar-pembesar Jepang. Kedudukan Datu Luwu dalam sistem pemerintahan Sipil, sedangkan pemerintahan Militer dipegang oleh Pihak Jepang. Dalam menjalankan Pemerintahan Sipil, Datu Luwu diberi kebebasan, namun tetap diawasi secara ketat oleh pemerintahan Militer Jepang yang sewaktu-waktu siap menghukum pejabat sipil yang tidak menjalankan kehendak Jepang, dan yang menjadi pemerintahan sipil atau Datu Luwu pada masa itu ialah " Andi Kambo Opu Tenrisompa" kemudian diganti oleh putranya "Andi Patiware" yang kemuadian bergelar "Andi Jemma".

Pada bulan April 1950 Andi Jemma dikukuhkan kembali kedudukannya sebagai Datu/Pajung Luwu dengan wilayah seperti sediakala. Afdeling Luwu meliputi lima onder Afdeling Palopo, Masamba, Malili, Tana Toraja atau Makale, Rantepao dan Kolaka. Tahun 1953 Andi Jemma Datu Luwu diangkat menjadi Penasehat Gubernur Sulawesi, waktu itu Sudiro. Ketika Luwu dijadikan Pemerintahan Swapraja, Andi Jemma diangkat sebagai Kepala Swapraja Luwu, pada tahun 1957 hingga 1960.

Atas jasa-jasa beliau terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia, Andi Jemma telah dianugerahi Bintang Gerilya tertanggal 10 November 1958, Nomor 36.822 yang ditandatangani Presiden Soekarno. Pada masa periode kepemimpinan Andi Jemma sebagai Raja atau Datu Luwu terakhir, sekaligus menandai berakhirnya sistem pemerintahan Swatantra (Desentralisasi). Belasan tanda jasa kenegaraan Tingkat Nasional telah diberikan kepada Andi Jemma sebelum beliau wafat tanggal 23 Februari 1965 di Kota Makassar. Presiden Soekarno memerintahkan agar Datu Luwu dimakamkan secara kenegaraan di ‘Taman Makam Pahlawan’ Panaikang Makassar, yang dipimpin langsung oleh Panglima Kodam Hasanuddin.

Selanjutnya pada masa setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, secara otomatis Kerajaan Luwu berintegrasi masuk kedalam Negara Republik Indonesia. Hal itu ditandai dengan adanya pernyataan Raja Luwu pada masa itu Andi Jemma yang antara lain menyatakan "Kerajaan Luwu adalah bagian dari Wilayah Kesatuan Republik Indonesia".

Pemerintah Pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.34/1952 tentang Pembubaran Daerah Sulawesi Selatan bentukan Belanda/Jepang termasuk Daerah yang berstatus Kerajaan. Peraturan Pemerintah No.56/1951 tentang Pembentukan Gabungan Sulawesi Selatan. Dengan demikian daerah gabungan tersebut dibubarkan dan wilayahnya dibagi menjadi 7 tujuh daerah swatantra. Satu di antaranya adalah daerah Swatantra Luwu yang mewilayahi seluruh daerah Luwu dan Tana Toraja dengan pusat Pemerintahan berada di Kota Palopo.

Berselang beberapa tahun kemudian, Pemerintah Pusat menetapkan beberapa Undang-Undang Darurat, antara lain: - Undang-Undang Darurat No.2/1957 tentang Pembubaran Daerah Makassar, Jeneponto dan Takalar. - Undang-Undang Darurat No. 3/1957 tentang Pembubaran Daerah Luwu dan Pembentukan Bone, Wajo dan Soppeng. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Darurat No. 4/1957, maka Daerah Luwu menjadi daerah Swatantra dan terpisah dengan Tana Toraja.

Daerah Swatantra Luwu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Darurat No.3/1957 adalah meliputi:

  • Kewedanaan Palopo
  • Kewedanaan Masamba dan
  • Kewedanaan Malili

Kemudian pada tanggal 1 Maret 1960 ditetapkan PP Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pembentukan Propinsi Administratif Sulawesi Selatan mempunyai 23 Daerah Tingkat II, salah satu diantaranya adalah Daerah Tingkat II Luwu.

Untuk menciptakan keseragaman dan efisiensi struktur Pemerintahan Daerah, maka berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara No.1100/1961, dibentuk 16 Distrik di Daerah Tingkat II Luwu, yaitu: - Wara - Larompong - Suli - Bajo - Bupon - Bastem - Walenrang - Limbong - Sabbang - Malangke - Masamba - Bone-Bone - Wotu - Mangkutana - Malili - Nuha

Dengan 143 Desa gaya baru. Empat bulan kemudian, terbit SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara No.2067/1961 tanggal 18 Desember 1961 tentang Perubahan Status Distrik di Sulawesi Selatan termasuk di Daerah Tingkat II Luwu menjadi Kecamatan. Dengan berpedoman pula pada SK tersebut, maka status Distrik di Daerah Tingkat II Luwu berubah menjadi kecamatan dan nama-nama kecamatannya tetap berpedoman pada SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara No. 1100/1961 tertanggal 16 Agustus 1961, dengan luas wilayah 25.149 km2.

Perkembangan dari segi Administratif Pemerintahan di Dati II Luwu, selain pemekaran kecamatan, desa dan kelurahan juga ditetapkannya Dati II Luwu sebagai salah satu Kota Administratif (KOTIP) berdasarkan SK Mendagri No.42/1986 tanggal 17 September 1986.

Dengan demikian secara Administratif Dati II Luwu terdiri dari satu Kota Administratip, tiga Pembantu Bupati, 21 Kecamatan Definitif, 13 Kecamatan Perwakilan, 408 Desa Definitif, 52 Desa Persiapan dan Kelurahan dengan luas wilayah berdasarkan data dari Subdit Tata Guna Tanah Direktorat Agraria Propinsi Sulawesi Selatan adalah 17.791,43 km2 dan dikuatkan dengan Surat Keputusan Gubernur KDH Tingkat I Sulawesi Selatan Nomor 124/III/1983 tanggal 9 Maret 1983 tentang penetapan luas propinsi, kabupaten/kotamadya dan kecamatan dalam wilayah propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan.

Luas Wilayah Propinsi Kabupaten/Kotamadya dan Kecamatan yang ada sekarang sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan nyata dilapangan oleh karena telah terjadi penyempurnaan batas wilayah antar propinsi di Sulawesi Selatan, maka melalui kerjasama Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Sul-Sel dan Topografi Kodam VII Wirabuana, Pemerintah Propinsi Tingkat I Sulawesi Selatan telah berhasil menyusun data tentang luas wilayah propinsi, kabupaten/ kotamadya dan kecamatan di daerah Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan dengan Surat Keputusan Gubernur KDH Tk.I Sul-Sel Nomor : SK.164/IV/1994 tanggal 4 April 1994. Total luas wilayah Kabupaten Luwu adalah 17.695,23 km2 dengan 21 kecamatan definitif dan 13 Kecamatan Pembantu.

Pada tahun 1999, saat awal bergulirnya Reformasi di seluruh wilayah Republik Indonesia, dimana telah dikeluarkannya UU No.22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan di Daerah, dan mengubah mekanisme pemerintahan yang mengarah pada Otonomi Daerah.

Tepatnya pada tanggal 10 Februari 1999, oleh DPRD Kabupaten Luwu mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 03/Kpts/DPRD/II/1999, tentang Usul dan Persetujuan Pemekaran Wilayah Kabupaten Dati II Luwu yang dibagi menjadi dua Wilayah Kabupaten dan selanjutnya Gubernur KDH Tk.I Sul-Sel menindaklanjuti dengan Surat Keputusan No.136/776/OTODA tanggal 12 Februari 1999. Akhirnya pada tanggal 20 April 1999, terbentuklah Kabupaten Luwu Utara ditetapkan dengan UU Republik Indonesia No.13 Tahun 1999.

Pemekaran Wilayah Kabupaten Dati II Luwu terbagi atas:

  1. 1 Kabupaten Dati II Luwu dengan batas Saluampak Kec. Lamasi dengan batas Kabupaten Wajo dan Kabupaten Tana Toraja, dari 16 kecamatan, yaitu:
  • Kecamatan Lamasi
  • Kecamatan Walenrang
  • Kecamatan Pembantu Telluwanua
  • Kecamatan Warautara
  • Kecamatan Wara
  • Kecamatan Pembantu Wara Selatan
  • Kecamatan Bua
  • Kecamatan Pembantu Ponrang
  • Kecamatan Bupon
  • Kecamatan Bastem
  • Kecamatan Pembantu Latimojong
  • Kecamatan Bajo
  • Kecamatan Belopa
  • Kecamatan Suli
  • Kecamatan Larompong
  • Kecamatan Pembantu Larompong Selatan
  1. 2 Kabupaten Luwu Utara dengan batas Saluampak Kec. Sabbang sampai dengan batas Propinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, terdiri dari 19 Kecamatan, yaitu:
  • Kecamatan Sabbang
  • Kecamatan Pembantu Baebunta
  • Kecamatan Limbong
  • Kecamatan Pembantu Seko
  • Kecamatan Malangke
  • Kecamatan Malangke Barat
  • Kecamatan Masamba
  • Kecamatan Pembantu Mappedeceng
  • Kecamatan Pembantu Rampi
  • Kecamatan Sukamaju
  • Kecamatan Bone-Bone
  • Kecamatan Pembantu Burau
  • Kecamatan Wotu
  • Kecamatan Pembantu Tomoni
  • Kecamatan Mangkutana
  • Kecamatan Pembantu Angkona
  • Kecamatan Malili
  • Kecamatan Nuha
  • Kecamatan Pembantu Towuti
  1. 3 Kota Palopo adalah salah saatu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Kota Palopo sebelumnya berstatus kota administratif yang berlaku sejak 1986 berubah menjadi kota otonom sesuai dengan UU Nomor 11 tahun 2002 tanggal 10 April 2002. Kota ini memiliki luass wilayah 155,19 Km2 dan berpenduduk sejumlah 120.748 jiwa dan dengan jumlah Kecamatan:
  • Kecamatan Wara
  • Kecamatan Wara Utara
  • Kematan Wara Selatan
  • Kecamatan Telluwanua
  • Kecmatan Wara Timur
  • Kecamatan Wara Barat
  • Kematan Mungkajang
  • Kecamaatan Bara
  • Kecamatan Sendana
  1. 4 Kabupaten Luwu Timur adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Kabupaten ini berasal dari pemekaran Kabupaten Luwu Utara yang disahkan dengan UU Nomor 7 Tahun 2003 pada tanggal 25 Februari 2003. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 6.944,98 km2, dengan Kecamatan masing-masing:
  • Kecamatan Angkona
  • Kecamatan Burau
  • Kecamatan Malili
  • Kecamatan Mangkutana
  • Kecamatan Nuha
  • Kecamatan Sorowako
  • Kecamatan Tomoni
  • Kecamatan Tomoni Utara
  • Kecamatan Towuti
  • Kecamatan Wotu

Setelah pembagian Wilayah Kabupaten Luwu dari dua Kabupaten menjadi tiga Kabupaten dan satu Kota, maka secara otomatis luas Wilayah Kabupaten ini berkurang dengan Kabupaten Luwu, Kabupaten Luwu Utara, Kabupaten Luwu Timur dan Kota Palopo berdasarkan batas yang telah ditetapkan, yaitu:

  • Luas Wilayah Kabupaten Luwu adalah 3.092,58 km2
  • Luas Wilayah Kabupaten Luwu Utara adalah 7.502,48 km2
  • Luas Wilayah Kota Palopo menjadi 155.19 km2.
  • Luas Wilayah Kabupaten Luwu Timur menjadi 6.944,98 km2.

Senin, 03 Mei 2010

INFO HEALTH : PEREMPUAN CANTIK BURUK BAGI KESEHATAN PRIA

Perempuan Cantik Buruk Bagi Kesehatan Pria

AN Uyung Pramudiarja - detikHealth ( RE POST BY. ASRIEL BATIGOL )


img
Scarlett Johanssons (Gettyimage)
Valencia, Hanya lima menit pria berdekatan dengan seorang perempuan cantik dan menarik akan meningkatkan kadar kortisol alias hormon pemicu stres. Jika kadar kortisol tinggi akan memperburuk kondisi kesehatan pria karena ancaman penyakit jantung, diabetes, hipertensi dan impotensi.

Penelitian itu ditemukan oleh ilmuwan dari University of Valencia. Peningkatan kadar kortisol akan semakin tinggi jika wanita cantik yang ditemui belum dikenal atau asing.

Jika si pria gagal melakukan pendekatan, risiko terburuk yang mungkin dihadapi karena meningkatnya kortisol secara cepat adalah stroke dan serangan jantung. Koran Inggris, The Mail edisi Senin (3/5/2010) menyebut efek tersebut hampir setara dengan melompat dari atas pesawat.

Tim dari University of Valencia, Spanyol, dilansir dari News.com.au, Selasa (4/5/2010) melakukan kajian terhadap 84 pelajar pria dengan bayaran masing-masing 10 poundsterling (sekitar 16 dolar AS).

Kadar kortisol pada para pelajar diukur sesaat sebelum ditinggalkan berduaan dengan wanita cantik yang tidak mereka kenal. Pengukuran dilakukan kembali segera setelah pertemuan yang hanya berdurasi 5 menit tersebut berakhir.

Peneliti awalnya meminta masing-masing partisipan untuk duduk di sebuah ruangan dan memecahkan teka-teki Sudoku. Isi ruangan itu dua orang asing, satu laki-laki dan satu perempuan cantik serta partispan si pria.

Ketika dua orang asing meninggalkan ruangan dan dua orang tetap duduk bersama-sama si wanita cantik, tingkat stres si pria itu masih baik. Tapi ketika partisipan ditinggalkan sendirian dengan wanita cantik tingkat kortisolnya langsung meningkat tajam.

Untuk penelitian tersebut, sengaja dipilih wanita muda dengan penampilan cantik, atraktif serta menawan hati. Hasil pengukuran menunjukkan, kadar kortisol pada para pelajar meningkat setelah 5 menit berduaan dengan sang bidadari.

Menurut para peneliti, hal ini menunjukkan bahwa interaksi dengan lawan jenis dapat merangsang pelepasan kortisol. Diduga, kehadiran wanita cantik bagi sebagian besar pria telah membentuk persepsi tentang adanya peluang untuk hubungan yang lebih intim.

Lantas apa yang terjadi ketika salah satu di antara pelajar itu berhasil mengencani si wanita cantik? Tim peneliti mengklaim, dampaknya malah jauh lebih buruk ketika interaksi tersebut berlanjut untuk waktu yang lama.

"Ironisnya, ini justru bisa memicu impotensi. Pemicunya adalah kelebihan kortisol yang sifatnya kronis, sebagai dampak dari stres yang berkelanjutan," ungkap para peneliti.

Kortisol dalam dosis kecil memberikan efek positif meningkatkan kewaspadaan dan bermanfaat dalam pengaturan gula darah. Tapi hormon ini selalu meningkat saat sedang frustrasi sehingga disebut juga 'hormon stres'.

Yang berbahaya adalah peningkatan kadar kortisol secara kronis yang dapat memperburuk kondisi medis seperti penyakit jantung, diabetes, hipertensi dan impotensi.

Kamis, 22 April 2010

MANFAAT IMUNISASI BCG DALAM PENCEGAHAN TB PARU


PROPOSAL PENELITIAN

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU IBU DENGAN

WAKTU PEMBERIAN IMUNISASI BCG






O L E H


ASRIEL TALARAN
C 121 09 521

PROGRAM STUDY ILMU KEPERAWATAN
F A K U L T A S K E D O K T E R A N UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2009







BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sistem imunitas bayi dan anak belumlah sempurna, yakni masih dalam proses perkembangan dan pematangan hingga mereka mencapai usia dewasa. Kondisi ini menyebabkan mereka relatif mudah tertular berbagai penyakit infeksi, termasuk TBC. Karena itu, para orang tua mesti memberikan perhatian dan perlindungan ekstra terhadap bayi dan anak dari penularan TBC.

Laporan TB dunia oleh WHO yang terbaru (2006), masih menempatkan Indonesia sebagai penyumbang terbesar nomor 3 di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah kasus baru sekitar 539.000 dan jumlah kematian sekitar 101.000 per tahun. ( I Nyoman Kandung, 2006). Penyakit TBC pada anak adalah fenomena yang sangat mencemaskan. Jumlah Kasus TBC pada anak di Indonesia sekitar seperlima dari seluruh Kasus TBC.

Bayi dan anak-anak lebih rentan terinfeksi Mycobacterium Tuberculosis penyebab penyakit TBC, antara lain disebabkan karena sistem imunitas yang belum sempurna, kontak erat dengan orang dewasa penderita TBC di sekitarnya, seperti orang tua, kerabat dekat, pengasuhnya dan sebagainya, kurangnya kesadaran orang tua untuk sedini mungkin melakukan vaksinasi BCG pada bayi baru lahir dan buruknya kualitas gizi pada sebagian bayi dan anak di Indonesia.

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, sistem kekebalan tubuh bayi dan anak belum sempurna ( masih terus berkembang ). Untuk menghindarkan bayi dan anak dari penyakit TBC yang berat, seperti TBC milier dan meningitis TBC, sistem imunitas mereka perlu ditingkatkan melalui vaksinasi Basil Calmette Guerin ( BCG ). BCG merupakan vaksin yang terdiri dari hasil basil TBC hidup yang telah dilemahkan kemampuannya dalam menimbulkan penyakit ( virulensinya ), sehingga mampu merangsang sel-sel imunitas untuk memberikan kekebalan terhadap infeksi Mycobacterium Tuberculosis. Ini dilakukan tanpa membuat bayi atau anak menjadi sakit.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa vaksinasi ini mampu memberikan perlindungan sebesar 80 % pada bayi atau anak selama 15 tahun, bila diberikan sebelum anak terinfeksi M. tuberculosis untuk pertama kalinya, yang ditandai oleh uji tuberculin negative. Waktu terbaik pemberian vaksin BCG adalah segera setelah bayi dilahirkan. Namun, jika bayi telah berusia dua bulan atau lebih, perlu dilakukan tes tuberculin lebih dulu sebelum dilakukan vaksinasi BCG karena sudah tidak efektif lagi kalau sudah terpapar oleh bakteri penyebab TBC ini.

Dari data Cakupan Imunisasi BCG yang ada di Puskesmas Latimojong Kabupaten Luwu Tahun 2008, dari 137 bayi yang ada, yang mendapatkan imunisasi BCG hanya sekitar 120 bayi. Dan setelah melihat fakta yang ada di lapangan, banyak bayi yang > dari 1 bulan yang belum mendapatkan vaksinasi BCG ini. Dari wawancara langsung secara acak di lapangan sebagai petugas kesehatan pada saat itu, yang penulis lakukan tanpa memberi tahu responden tentang maksud dan tujuan, maka didapatkan data ada ibu yang memang belum tahu waktu pemberian vaksin BCG yang efektif, ada yang tahu tapi kurang motivasi untuk membawa bayinya untuk di beri imunisasi BCG, ada juga yang sibuk dengan pekerjaan sehingga tidak sempat membawa bayinya untuk diimunisasi pada bulan pertama kelahirannya, ada juga yang karena budaya setempat belum bisa membawa anaknya keluar rumah pada bulan pertama kelahiran.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian singkat dalam latar belakang masalah di atas, maka penulis Mengidentifikasi apakah ada hubungan antara tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku ibu dengan waktu pemberian imunisasi BCG pada bayi di Puskesmas Latimojong Kabupaten Luwu.

C. Tujuan Penelitian

  1. Tujuan Umum

Mengetahui Hubungan Pengetahuan, Sikap Dan Perilaku Ibu Terhadap Waktu Pemberian Imunisasi BCG Pada Bayi.

  1. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi Tingkat Pengetahuan Ibu dengan waktu pemberian Imunisasi BCG pada bayi

b. Mengidentifikasi Sikap Ibu dengan waktu pemberian Imunisasi BCG pada bayi

c. Mengidentifikasi Perilaku Ibu dengan waktu pemberian Imunisasi BCG pada bayi

d. Mengidentifikasi hubungan Tingkat Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Ibu dengan Waktu Pemberian Imunisasi BCG pada bayi.

D. Manfaat Penelitian

  1. Teoritis

a. Dapat dijadikan sumber informasi (data dasar) bagi institusi pendidikan keperawatan dan Puskesmas / Dinas Kesehatan untuk Peningkatan Pencapaian Cakupan Imunisasi khususnya imunisasi BCG

b. Dapat di jadikan sumber informasi (data dasar) bagi peneliti selanjutnya untuk mengembangkan kegiatan penelitian tentang Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Terhadap Pemberian Imunisasi BCG pada Bayi sedini mungkin

c. Meningkatkan pengetahuan penelitian tentang waktu yang tepat pemberian Imunisasi BCG pada bayi

  1. Praktik

a. Dapat digunakan oleh Pengelola Imunisasi tingkat Puskesmas / Dinas Kesehatan untuk informasi mengenai gambaran Cakupan Imunisasi BCG pada Bayi.

b. Sebagai masukan kepada pihak Puskesmas / Dinas Kesehatan untuk mencapai Universal Child Immunization (UCI) melalui peningkatan pengetahuan dan peran serta ibu dalam pemberian imunisasi BCG pada bayi

BAB ll
TINJAUAN PUSTAKA

Dalam tinjauan pustaka ini akan diuraikan konsep-konsep teori yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti, terutama yang berhubungan dengan variabel penelitian, sehingga dapat digunakan sebagai dasar berpijak dalam melakukan penelitian. Pada bab ini akan diuraikan tentang : A. Perilaku Kesehatan, B. Bentuk Perilaku, C. Domain Perilaku Kesehatan, D. Konsep Imunisasi BCG dan E. Peran Orang Tua ( Ibu ) terhadap Pemberian Imunisasi

A. Perilaku Kesehatan

Masalah kesehatan masyarakat, terutama di negara-negara berkembang pada dasarnya menyangkut dua aspek utama, yaitu fisik, seperti misalnya tersedianya sarana kesehatan dan pengobatan penyakit, dan non-fisik yang menyangkut perilaku kesehatan. Faktor perilaku ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap status kesehatan individu maupun masyarakat.

Perilaku manusia merupakan hasil daripada segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Dengan kata lain, perilaku merupakan respon/reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Respon ini dapat bersifat pasif (tanpa tindakan: berfikir, berpendapat, bersikap) maupun aktif (melakukan tindakan). Sesuai dengan batasan ini, perilaku kesehatan dapat dirumuskan sebagai segala bentuk pengalaman dan interaksi individu dengan lingkungannya, khususnya yang menyangkut pengetahuan, dan sikap tentang kesehatan, serta tindakannya yang berhubungan dengan kesehatan.

Keberhasilan upaya pencegahan dan pengobatan penyakit tergantung pada kesediaan orang yang bersangkutan untuk melaksanakan dan menjaga perilaku sehat. Banyak dokumentasi penelitian yang memperlihatkan rendahnya partisipasi masyarakat dalam pemeriksaan kesehatan, imunisasi, serta berbagai upaya pencegahan penyakit dan banyak pula yang tidak memanfaatkan pengobatan modern. Karena itu tidaklah mengherankan bila banyak ahli ilmu perilaku yang mencoba menyampaikan konsep serta mengajukan bukti-bukti penelitian untuk menggambarkan, menerangkan, dan meramalkan keputusan-keputusan orang yang berkaitan dengan kesehatan.

Becker menuliskan pendapat Kasl dan Cobb yang mengatakan bahwa biasanya orang terlibat dengan kegiatan medis karena 3 alasan pokok , yaitu:

  1. Untuk pencegahan penyakit atau pemeriksaan kesehatan pada saat gejala penyakit belum dirasakan (perilaku sehat);
  2. Untuk mendapatkan diagnosis penyakit dan tindakan yang diperlukan jika ada gejala penyakit yang dirasakan (perilaku sakit);
  3. Untuk mengobati penyakit, jika penyakit tertentu telah dipastikan, agar sembuh dan sehat seperti sediakala, atau agar penyakit tidak bertambah parah (peran sakit).

Menurut Notoatmodjo, semua ahli kesehatan masyarakat dalam membicarakan status kesehatan mengacu kepada Bloom. Dari hasil penelitiannya di Amerika Serikat sebagai salah satu negara yang sudah maju, Bloom menyimpulkan bahwa lingkungan mempunyai andil yang paling besar terhadap status kesehatan, kemudian berturut-turut disusul oleh perilaku mempunyai andil nomor dua, pelayanan kesehatan dan keturunan mempunyai andil yang paling kecil terhadap status kesehatan. Bagaimana proporsi pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap status kesehatan di negara berkembang seperti Indonesia belum ada penelitian. Ahli lain, Lewrence Green menjelaskan bahwa perilaku itu dilatarbelakangi atau dipengaruhi oleh tiga faktor pokok yakni: faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), factor–faktor yang mendukung (enabling factors) dan faktor-faktor yang memperkuat atau mendorong ( reinforcing factors). Oleh sebab itu pendidikan kesehatan sebagai faktor usaha intervensi perilaku harus diarahkan kepada ketiga faktor pokok tersebut.

B. Bentuk Perilaku

Secara lebih operasional perilaku dapat diartikan suatu respon organisme atau seseorang terhadap rangsangan (stimulus) dari luar subjek tersebut. Respon ini berbentuk dua macam, yakni :

1. Bentuk pasif adalah respon internal, yaitu yang terjadi di dalam diri manusia dan tidak secara langsung dapat terlihat oleh orang lain, misalnya berfikir, tanggapan atau sikap batin, dan pengetahuan. Misalnya seorang ibu tahu bahwa imunisasi itu dapat mencegah suatu penyakit tertentu, meskipun ibu tersebut tidak membawa anaknya ke puskesmas untuk diimunisasi. Contoh lain adalah seorang yang menganjurkan orang lain untuk mengikuti keluarga berencana meskipun ia sendiri tidak ikut keluarga berencana. Dari kedua contoh tersebut terlihat bahwa ibu telah tahu gunanya imunisasi, dan contoh kedua orang tersebut telah mempunyai sikap yang positif untuk mendukung keluarga berencana, meskipun mereka sendiri belum melakukan secara konkret terhadap kedua hal tersebut. Oleh sebab itu perilaku mereka ini masih terselubung ( covert behavior )

2. Bentuk aktif, yaitu apabila perilaku itu jelas dapat diobservasi secara langsung. Misalnya pada kedua contoh tersebut, si ibu sudah membawa anaknya ke puskesmas atau fasilitas kesehatan lain untuk imunisasi, dan orang pada kasus kedua sudah ikut keluarga berencana dalam arti sudah menjadi akseptor KB. Oleh karena perilaku mereka ini sudah tampak dalam bentuk tindakan nyata, maka disebut “overt behavior.”

C. Domain Perilaku Kesehatan

Notoatmodjo berpendapat bahwa perilaku manusia itu sangat kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang sangat luas. Benyamin Bloom seorang ahli psikologi pendidikan membagi perilaku itu ke dalam 3 domain (ranah/kawasan), meskipun kawasan-kawasan tersebut tidak mempunyai batasan yang jelas dan tegas. Pembagian kawasan ini dilakukan untuk kepentingan tujuan pendidikan. Bahwa dalam tujuan suatu pendidikan adalah mengembangkan atau meningkatkan ketiga domain perilaku tersebut, yang terdiri dari :

a) Ranah kognitif (cognitive domain)

b) Ranah afektif (affective domain)

c) Ranah psikomotor (psycomotor domain).

Dalam perkembangan selanjutnya oleh para ahli pendidikan, dan untuk kepentingan pengukuran hasil pendidikan, ketiga domain ini diukur dari :

  1. Pengetahuan peserta didik terhadap materi pendidikan yang diberikan (knowledge)
  2. Sikap atau tanggapan peserta didik terhadap materi pendidikan yang diberikan ( attitude)
  3. Praktek atau tindakan yang dilakukan oleh peserta didik sehubungan dengan materi pendidikan yang diberikan (practice)

Terbentuknya suatu perilaku baru, terutama pada orang dewasa dimulai pada domain kognitif, dalam arti subjek tahu terlebih dahulu terhadap stimulus yang berupa materi atau objek di luarnya, sehingga menimbulkan pengetahuan baru pada subjek tersebut. Ini selanjutnya menimbulkan respon batin dalam bentuk sikap si subjek terhadap objek yang diketahui itu. Akhirnya rangsangan yakni objek yang telah diketahui dan disadari sepenuhnya tersebut akan menimbulkan respon lebih jauh lagi, yaitu berupa tindakan (action) terhadap atau sehubungan dengan stimulus atau objek tadi. Namun demikian, di dalam kenyataan stimulus yang diterima subjek dapat langsung menimbulkan tindakan. Artinya seseorang dapat bertindak atau berperilaku baru tanpa mengetahui terlebih dahulu makna stimulus yang diterimanya. Dengan kata lain tindakan (practice) seseorang tidak harus didasari oleh pengetahuan atau sikap.

1) Pengetahuan (Knowledge)

Pengetahuan merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang ( overt behavior). Karena itu dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Notoatmodjo mengungkapkan pendapat Rogers bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru) di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni :

a) Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek)

b) Interest ( merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut. Di sini sikap subjek sudah mulai terbentuk

c) Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi

d) Trial, dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus

e) Adoption, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.

Namun demikian dari penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-tahap tersebut di atas.

2) Sikap (Attitude)

Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Dari berbagai batasan tentang sikap dapat disimpulkan bahwa manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu.

Newcomb salah seorang ahli psikologi sosial menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksana motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan atau perilaku.

Dalam bagian lain Allport, menurut Notoatmodjo, menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3 komponen pokok, yakni :

a. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek

b. Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek

c. Kecenderungan untuk bertindak

Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap ini, pengetahuan, berfikir, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting. Suatu contoh misalnya, seorang ibu telah mendengar penyakit TBC (penyebabnya, akibatnya, pencegahannya, dan sebagainya). Pengetahuan ini akan membawa ibu untuk berfikir dan berusaha supaya anaknya tidak terkena TBC. Dalam berfikir ini komponen emosi dan keyakinan ikut bekerja sehingga ibu tersebut berniat akan mengimunisasikan anaknya untuk mencegah anaknya terkena TBC.

Seperti halnya pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan, yakni :

1) Menerima (Receiving)

Subjek mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan objek

2) Merespon (Responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya serta mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan. Lepas jawaban dan pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti orang menerima ide tersebut.

3) Menghargai (Valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan terhadap suatu masalah

4) Bertangguang jawab (Responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya merupakan tingkat sikap yang paling tinggi.

Pengukuran sikap dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaiamana pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu objek. Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataan - pernyataan hipotesis, kemudian ditanyakan pendapat responden ( Sangat setuju, setuju, tidak setuju, sangat tidak setuju)

3) Praktek atau Tindakan (Practice)

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain fasilitas. Sikap ibu yang sudah positif terhadap imunisasi harus mendapat konfirmasi dari suaminya dan ada fasilitas imunisasi yang mudah dicapai, agar ibu tersebut dapat mengimunisasikan anaknya.

Tingkat-tingkat Praktek :

a. Persepsi (Perception)

Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil .

b. Respon Terpimpin (Guided Respons)

Dapat melakukan sesuatu dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh.

c. Mekanisme (Mechanism)

Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau suatu ide sudah merupakan suatu kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktek tingkat tiga.

d. Adaptasi (Adaptation)

Merupakan praktek yang sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasinya sendiri tanpa mengurangi kebenaran tindakannya tersebut.

Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung, yakni dengan wawancara terhadap kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari, atau bulan yang lalu (recall). Pengukuran langsung dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden.

D. Konsep Imunisasi BCG

1) Pengertian

Imunisasi berasal dari kata imun, kebal atau resisten. Jadi Imunisasi adalah suatu tindakan untuk memberikan kekebalan dengan cara memasukkan vaksin ke dalam tubuh manuasia. Sedangkan kebal adalah suatu keadaan dimana tubuh mempunyai daya kemampuan mengadakan pencegahan penyakit dalam rangka menghadapi serangan kuman tertentu. Kebal atau resisten terhadap suatu penyakit belum tentu kebal terhadap penyakit lain. (Depkes RI, 1994)

Dalam ilmu kedokteran, imunitas adalah suatu peristiwa mekanisme pertahanan tubuh terhadap invasi benda asing hingga terjadi interaksi antara tubuh dengan benda asing tersebut. Adapun tujuan imunisasi adalah merangsang sistim imunologi tubuh untuk membentuk antibody spesifik sehingga dapat melindungi tubuh dari serangan Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I). (Musa, 1985). Departemen Kesehatan RI (2004), menyebutkan imunisasi adalah suatu usaha yang dilakukan dalam pemberian vaksin pada tubuh seseorang sehingga dapat menimbulkan kekebalan terhadap penyakit tertentu.

(http://www.health.nsw.gov.au/resources/publichealth/infectious/tb/pdf/bcg_information_ind.pdf )

Menurut Depkes RI (2001), tujuan pemberian imunisasi adalah untuk mencegah penyakit dan kematian bayi dan anak-anak yang disebabkan oleh wabah yang sering muncul. Pemerintah Indonesia sangat mendorong pelaksanaan program imunisasi sebagai cara untuk menurunkan angka kesakitan, kematian pada bayi, balita/ anak-anak pra sekolah.

Untuk tercapainya program tersebut perlu adanya pemantauan yang dilakukan oleh semua petugas baik pimpinan program, supervisor dan petugas imunisasi vaksinasi dan juga orang tua bayi. Untuk memaksimalkan partisipasi orang tua ( ibu ) bayi mengunjungi posyandu untuk memberikan imunisasi pada anaknya maka perlu meningkatkan pengetahuan mereka tentang manfaat, waktu pemberian serta efek samping yang ditimbulkan setelah diimunisasi.

Salah satu dari 7 imunisasi dasar yang diberikan di Posyandu adalah BCG. Vaksin BCG merupakan vaksin dari basil TBC hidup yang telah dilemahkan kemampuannya dalam menimbulkan penyakit ( virulensinya ), sehingga mampu merangsang sel-sel imunitas untuk memberikan kekebalan terhadap infeksi Mycobacterium Tuberculosis, yaitu sejenis bakteri sejenis bakteri Batang yang Tahan Asam (BTA) dengan ukuran panjang 1-4/Um dan ketebalan 0,3 – 0,6/Um, yang ditularkan melalui percikan dahak ( droplet ) dari penderita TBC kepada individu lain yang rentan.

Imunisasi dengan vaksin BCG sangat penting untuk mengendalikan penyebaran penyakit TBC. Vaksin ini akan memberi tubuh kekebalan aktif terhadap penyakit TBC. Vaksin ini hanya perlu diberikan sekali seumur hidup, karena pemberian lebih dari sekali pun tidak berpengaruh. Tetapi imunisasi BCG juga tidak sepenuhnya dapat melindungi manusia dari serangan TBC. Tingkat efektivitas vaksin BCG memang ’hanya’ 70-80 %. Beberapa negara maju menetapkan kebijakan tidak perlu imunisasi BCG, cukup mengawasi dengan ketat kelompok yang beresiko tinggi. Tetapi untuk Indonesia, vaksin ini masih sangat dibutuhkan, mengingat posisi Indonesia yang no 3 di dunia sebagai negara dengan jumlah penderita TBC terbanyak.

2) Waktu Pemberian

Vaksin BCG akan sangat efektif bila diberikan segera setelah lahir atau paling lambat 2 bulan setelah lahir (dengan catatan selama itu bayi tidak kontak dengan pengidap TB aktif). Meskipun BCG tidak dapat 100 % mencegah TBC paru-paru, tetapi pemberian vaksin ini akan melindungi anak dari bentuk-bentuk TBC yang lebih ganas (meningeal TB dan miliary TB). Anak yang sudah diimunisasi BCG, lalu terinfeksi kuman TB, umumnya tidak berkembang menjadi sakit. Kalaupun sampai berkembang menjadi TB aktif, biasanya perkembangbiakan kuman akan terlokalisir di paru-paru saja (pulmonary TB). Selain imunisasi, orangtua juga harus memperhatikan asupan gizi anak. Asupan gizi yang baik ditambah imunisasi BCG, diharapkan cukup ampuh menangkal serangan bakteri TB. Kalaupun anak sampai terinfeksi, dampaknya akan lebih ringan.

3) Dosis dan Cara Pemberian

Tambahkan pelarut ( 4 ml ) ke dalam ampul berisi vaksin BCG beku kering dengan alat suntik yang steril dan kering dan jarum yang panjang. Disuntikkan secara intrakutan di daerah insertio M. Deltoideus. Dengan dosis 0,05 ml.

Imunisasi BCG tidak menyebabkan reaksi yang bersifat umum seperti demam. Satu hingga dua minggu kemudian timbul indurasi dan eritema di tempat suntikkan yang berubah menjadi pustula, kemudian pecah menjadi ulkus. Luka ini tidak memerlukan pengobatan, akan sembuh secara spontan dan meninggalkan tanda parut.
Kadang-kadang terjadi pembesaran kelenjar regional di ketiak dan/atau leher, terasa padat, tidak sakit dan tidak menimbulkan demam. Reaksi ini normal, tidak memerlukan pengobatan, dan akan menghilang dengan sendirinya.

E. Peran Orang Tuan ( Ibu ) dalam imunisasi

Peningkatan cakupan imunisasi melalui pendidikan orang tua telah menjadi strategi populer di berbagai negara. Strategi ini berasumsi bahwa anak-anak tidak akan diimunisasi secara benar disebabkan orang tua tidak mendapat penjelasan yang baik atau karena memiliki sikap yang buruk tentang imunisasi.

Program imunisasi dapat berhasil jika ada usaha yang sungguh-sungguh dan berkesinambungan pada orang- orang yang memiliki pengetahuan dan komitmen yang tinggi terhadap imunisasi. Jika suatu program intervensi preventif seperti imunisasi ingin dijalankan secara serius dalam menjawab perubahan pola penyakit dan persoalan pada anak dan remaja, maka perbaikan dalam evaluasi perilaku kesehatan masyarakat sangat diperlukan.

Strobino mengatakan bahwa banyak literatur yang menghubungkan antara faktor orang tua dengan penggunaaan sarana kesehatan baik itu untuk tindakan pencegahan atau pengobatan penyakit, namun hanya sedikit penelitian yang secara khusus mencari hubungan antara pengetahuan dan sikap orang tua dengan imunisasi anak.

Cakupan imunisasi yang rendah merupakan persoalan yang kompleks. Bukan hanya karena faktor biaya, karena ternyata vaksin gratis ternyata juga tidak menjadi jaminan bagi suksesnya imunisasi. Bates mengemukakan hasil penelitian Becher yang mendapatkan bahwa ibu –ibu yang yang anaknya jarang terserang penyakit adalah mereka yang lebih sering memanfaatkan sarana-sarana kesehatan pencegahan. Mereka mengaku bahwa dengan memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap sarana pencegahan dan melakukan usaha pencegahan yang teratur, anak mereka dapat terhindar dari sakit.

BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL

Berdasarkan uraian pada tinjauan pustaka maka dapat dirangkumkan kerangka dibawah ini berpikir peneliti dalam bentuk sebuah kerangka konsep seperti yang terlihat.

Keterangan : = yang akan diteliti

Gambar 3.1. Kerangka konseptual Hubungan Tingkat Pengetahuan, Sikap dan Perilaku ibu terhadap pemberian imunisasi BCG pada bayi secara dini

BAB IV
METODELOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Jenis Penelitian ini merupakan penelitian analitik yang berdasarkan pada ada tidaknya hubungan antar variabel. Desain penelitian yang digunakan yaitu cross sectional study (studi potong lintang) yaitu penelitian hanya dilakukan pada saat tertentu, dengan setiap subjek penelitian hanya dikenai satu kali pengukuran, tanpa dilakukan tindak lanjut atau pengulangan pengukuran.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di semua Posyandu dalam wilayah kerja Puskesmas Latimojong Kec. Latimojong Kabupaten Luwu , mulai tanggal 22 Desember 2009 sampai dengan tanggal 29 Desember 2009.

C. Populasi dan Sampel

Dilakukan wawancara dengan suatu kuisioner terancang. Populasi penelitian adalah ibu-ibu yang mempunyai bayi dibawah umur 5 tahun di semua Posyandu dalam wilayah kerja Puskesmas Latimojong Kec. Latimojong Kabupaten Luwu.

Pada penelitian ini penulis menentukan sampel dengan menggunakan rumus dari Azwar A, 1987 yaitu :

n =

Keterangan :

n = Besar sampel

N = Besarnya populasi

Z = Nilai standart normal untuk α = 0,05 adalah 1,96

p = Perkiraan proporsi, jika tidak diketahui dianggap 50 %

q = 1 - p atau sama dengan 100% - p

d = Tingkat kesalahan yang dipilih 0,05

D. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Kriteria Inklusi : responden yang memiliki anak berusia dibawah lima tahun, dalam wawancara dapat membawa atau menunjukkan Kartu Menuju Sehat (KMS) anak terkecilnya dan responden harus dapat menjawab seluruh pertanyaan secara lengkap.

Kriteria Eksklusi : ibu yang tidak hadir/menolak saat wawancara berlangsung, ibu yang memiliki anak berusia dibawah lima tahun tapi bertugas sebagai kader / tenaga kesehatan.

E. Variabel Penelitian, Defenisi Operasional dan Kategori

1. Variabel Independen:

a. Pengetahuan

Yaitu pemahaman ibu tentang pengertian imunisasi BCG, manfaat imunisasi BCG, Imunisasi lain yang telah diberikan, jarak pemberian imunisasi, jumlah kali pemberian BCG, tempat/lokasi pemberian imunisasi, penyakit yang ingin dicegah, reaksi samping imunisasi, imunisasi simultan, dan imunisasi ulangan. Dalam pengukurannya menggunakan Skala Godmant dengan Kriteria Objektif sebagai berikut :

1. Baik ( jika skor yang didapatkan ≥ 15 dari 10 pertanyaan)

2. Buruk ( jika skor yang didapatkan < 15 dari 10 pertanyaan )

b. Sikap

Yaitu setuju tidaknya ibu mencari informasi tentang imunisasi BCG sebagai tugas orang tua, setuju tidaknya ibu bahwa imunisasi BCG program yang sangat penting, penyakit yang ingin dicegah adalah serius dan berbahaya, tetap meneruskan pemberian imunisasi meski terjadi reaksi yang merugikan, imunisasi hanya untuk mensukseskan program pemerintah serta setuju tidaknya ibu pemberian beberapa jenis vaksin secara bersamaan/simultan. Dalam pengukurannya menggunakan Skala Linkert dengan Kriteria Objektif sebagai berikut :

1. Baik ( jika skor yang didapatkan ≥ 13 dari 6 pertanyaan)

2. Buruk ( jika skor yang didapatkan < 13 dari 6 pertanyaan )

c. Perilaku

Yaitu apakah ibu pernah membaca atau mengikuti penyuluhan tentang imunisasi BCG, bayi ibu sudah mendapat imunisasi secara lengkap, apakah KMS terpelihara dengan baik, anak ibu pernah mendapat 2 jenis atau lebih imunisasi dalam satu kali kunjungan, pernahkan menyampaikan pentingnya imunisasi BCG pada orang lain serta apakah ibu panik dengan reaksi yang timbul setelah penyuntikan vaksin BCG?. Dalam pengukurannya menggunakan Skala Linkert dengan Kriteria Objektif sebagai berikut :

1. Baik ( jika skor yang didapatkan ≥ 13 dari 6 pertanyaan)

2. Buruk ( jika skor yang didapatkan < 13 dari 6 pertanyaan )

F. Instrument Penelitian

Hal-hal yang ditanyakan antara lain: Identitas/karakteristik ibu (usia, tingkat pendidikan, jumlah balita, sumber informasi imunisasi). Pengetahuan tentang imunisasi BCG (apakah ibu mengetahui pengertian imunisasi BCG, manfaat, waktu yang tepat pemberian vaksin BCG, daerah/ lokasi penyuntikan vaksin BCG, berapa kali pemberian vaksin BCG, penyakit yang ingin dicegah, reaksi samping yang timbul dan imunisasi ulangan). Sikap (Apakah ibu setuju mencari informasi imunisasi BCG merupakan tugas orang tua, apakah imunisasi BCG penting, apakah penyakit yang ingin dicegah termasuk berat/serius, apakah imunisasi BCG dihentikan bila timbul reaksi, apakah dilakukan hanya untuk mensukseskan program pemerintah, dan setujukah dengan pemberian beberapa vaksin bersamaan). Perilaku (Pernahkah mengikuti penyuluhan, sudah lengkapkah imunisasi balita ibu, apakah KMS terjaga baik, apakah mendapat imunisasi simultan, apakah ada menyampaikan pentingnya imunisasi pada orang lain, dan apakah panik bila timbul reaksi).

Pewawancara adalah perawat / nakes lainnya dan kader posyandu yang sebelumnya telah dilatih tentang maksud pertanyaan, teknik bertanya serta cara menilai dan mencatat jawaban responden. Selanjutnya dilakukan uji coba untuk menyempurnakan bentuk kuisioner maupun pelaksanaan wawancara. Responden diminta untuk menjawab semua pertanyaan secara jujur, tanpa seorangpun dibenarkan, baik pewawancara maupun orang lain untuk mempengaruhinya. Setiap jawaban diberi tanda contreng pada nilai skor yang tersedia. Pengetahuan, sikap, dan perilaku dibagi atas dua tingkat yaitu baik dan buruk, berdasarkan jumlah skor pada masing-masing bidang.

G. Alur Penelitian



Skema 4.l . Alur penelitian

H. Pengolahan dan Penyajian Data

Pengelohan data dilakukan dengan menggunakan jasa komputer program SPSS versi 17,0. Sedangkan penyajian data dilakukan dalam bentuk tabel distribusi frekwensi dan disertai penjelasan tabel.

I. Analisa Data

Setelah data dikumpulkan selanjutnya dilakukan pengolahan data dengan proses sebagai berikut : (1) editing yaitu melihat data, apakah data yang diperoleh sudah terisi lengkap atau masih belum lengkap. (2) koding yaitu melakukan klasifikasi jawaban dari reponden menurut jenisnya dengan memberikan kode pada masing-masing jawaban menurut item kuisioner. (3) tabulasi data merupakan suatu langkah untuk memudahkan analisa data,dengan demikian data yang ada dikelompokan dalam tabel menurut sifat masing-masing subvariabel.

Desain penelitian : cross sectional study (studi potong lintang) yaitu penelitian hanya dilakukan pada saat tertentu, dengan setiap subjek penelitian hanya dikenai satu kali pengukuran, tanpa dilakukan tindak lanjut atau pengulangan pengukuran.

G. Etika Penelitian

1. Informed Consent

Penelitian dapat dilaksanakan Jika telah mendapat persetujuan tertulis dari responden sebagai bukti bahwa responden bersedia diteliti. Peneliti akan memberikan lembaran persetujuan untuk ditandatangani responden tetapi sebelumnya peneliti telah menjelaskan tujuan dan manfaat penelitian. Jika responden menolak maka peneliti tidak akan memaksa dan tetap menghargai hak responden.

2. Anonimity

Peneliti wajib menjaga kerahasiaan dan privasi responden dengan cara tanpa memberi nama dalam pengisian kuisiner. Penelitiannya memberikan kode pada setiap responden.

3. Confidentiality

Kerahasiaan informasi dan data yang diberikan responden wajib dijamin peneliti. Segala informasi yang diberikan oleh responden tidak dapat disebarluaskan oleh peneliti untuk kepentingan apapun.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2008), Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Edisi 2 cetakan kedua

Genis Ginanjar Wahyu (2008). TBC Pada Anak, Jakarta, Penerbit Dian Rakyat..

Nursalam & Pariani. (2000). Pendekatan Praktis Metologi Keperawatan. Sagung Seto. Jakarta. 11 – 135.

Nursalam. (2002). Managemen Keperawatan (Aplikasi dan Praktis). Salemba Medika. Jakarta. 313 – 314.

Azwar Azrul (1996) Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan.

Basuki B. (1999), Besar sampel. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: h. 135-48

Becker M.H, Maiman L.A (1995), Model-model perilaku kesehatan. Jakarta:UI-Press, 1995. h. 43-92

Dir Jen PPM&PLP DepKes RI ( 1993), Petunjuk teknis reaksi samping imunisasi; edisi ke-1. Jakarta, h. 1-27

Lubis, IZ, Lubis M, Loebis MS, Manoeroeng SM, Lubis CP (1990), Pengetahuan, sikap, dan perilaku orang tua tentang imunisasi, Majalah Kedokteran Nusantara, Edisi khusus 1: h. 1-11

Masjkuri NM (1985), Ibu-ibu yang tidak tahu tentang imunisasi: ciri-ciri dan kegiatannya yang dapat dipakai sebagai sarana pemberian informasi. Medika ; h. 842.

Notoatmodjo S ( 1997), Ilmu Kesehatan Masyarakat: Prinsip-Prinsip Dasar.Jakarta: PT Rineka Cipta, h. 95-133

Pokja KIPI Pusat (1999), Standar operasional program imunisasi khusus . Dirjen PPM & PLP Depkes RI, h. 1-10

Ranuh IGN (2001), Imunisasi upaya pencegahan primer. Dalam: Buku imunisasi di Indonesia, Edisi ke-1. Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta,. h. 1-3

Indah Setriani (2008), Penggunaan Vaksin BCG untuk pengobatan Tuberculosis, http://yosefw.wordpress.com

Mirzal Tawi, (2008), Imunisasi dan Faktor yang mempengaruhinya, http://yosefw.wordpress.com

Yasir Arifin (2008), Cegah TBC sejak dini, http://www.health.nsw.gov.au/resources/publichealth/infectious/tb/pdf/bcg_information_ind.pdf